Suara Harapan – Kita sering kali mengidentikkan kehidupan yang tidak berpengharapan dengan kehidupan yang sulit atau kehidupan dalam masalah. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa kehidupan yang makmur dan berkelimpahan pun bisa merupakan kehidupan yang tidak berpengharapan. Hal ini sangat bergantung kepada pengertian kita mengenai “pengharapan”. Jikalau kita mengidentikkan materi dengan harapan, kita akan berpikir hidup berkelimpahan materi adalah kehidupan yang berpengharapan. Namun, cara pandang seperti ini bukanlah cara pandang Alkitab. Kekristenan memandang bahwa kehidupan yang sudah melupakan Allah adalah kehidupan yang tidak berpengharapan. Ketika kita sibuk dengan urusan atau ambisi pribadi, kerap kali kita melupakan Tuhan. Di saat itulah kita sedang melepaskan pengharapan sejati hidup ini. Hal inilah yang juga terjadi dengan bangsa Israel di dalam Kitab Zakharia. Mereka semua sibuk dengan urusan atau ambisi masing-masing, tetapi lupa akan kehendak Allah yang harus mereka jalankan. Kehidupan seperti ini lebih berbahaya, karena secara tampak luar mereka seperti baik-baik saja, tetapi di dalam diri mereka sedang bermasalah. Kita akan melihat bagaimana kitab ini memperingatkan kita akan kehidupan umat Allah yang melupakan Allah mereka.
Introduksi
Kitab Zakharia adalah kitab yang terpanjang di dalam kumpulan kitab nabi kecil. Secara gamblang, kitab ini sering dibagi menjadi dua bagian, yaitu pasal 1-8 dan 9-14. Bagian pertama dari kitab ini mungkin adalah bagian yang sangat membingungkan bagi banyak pembacanya. Pasalnya, bagian ini memuat banyak sekali catatan mimpi Nabi Zakharia yang tidak mudah untuk dimengerti. Salah satu cara yang dapat membuat kita bisa mengertinya dengan lebih baik adalah dengan mengerti tujuan lebih besar dari penulisan kitab ini.
Pembaca pertama kitab ini adalah orang-orang Israel yang baru saja kembali dari pembuangan di Babel. Kita perlu mengerti bahwa Israel Selatan telah lama dikalahkan oleh Kerajaan Babel sesuai dengan teguran dan peringatan dari Tuhan atas ketidaksetiaan mereka kepada-Nya. Di awal pembuangan Yerusalem ke Babel, Nabi Yeremia mengirim surat kepada orang-orang buangan untuk menguatkan mereka dengan janji Tuhan. Tuhan berjanji bahwa mereka tidak akan selamanya berada dalam pembuangan. Setelah lewat masa 70 tahun, maka Tuhan akan mengumpulkan mereka kembali dari segala tempat pembuangan ke Yerusalem. Tuhan akan mendengarkan seruan mereka, dan Tuhan akan memulihkan mereka (Yer. 29:4-15).
Tuhan mendidik umat-Nya di dalam pembuangan untuk terus menantikan pemulihan Yerusalem. Nabi-nabi yang dibangkitkan Tuhan dalam pembuangan, seperti Ezra, Nehemia, dan Daniel, memberikan contoh yang jelas bahwa umat Tuhan harus terus merindukan pemulihan yang dijanjikan Tuhan. Karena itulah, lewatnya masa 70 tahun seturut janji Tuhan akan pemulihan Israel begitu menguatkan dan signifikan. Tuhan tidak membiarkan umat-Nya menanti dalam pembuangan tanpa pengharapan. Penantian mereka bukanlah penantian tanpa batas. Harapan mereka bukanlah harapan kosong.
Seturut janji Tuhan dan di dalam kedaulatan-Nya, Tuhan menggerakkan hati Raja Koresh untuk mengeluarkan perintah membangun kembali Rumah Tuhan di Yerusalem. Bahkan seluruh umat Tuhan yang kembali harus disokong dengan perak, emas, harta benda, dan ternak untuk mendukung pekerjaan pembangunan kembali ini (Ezr. 1:4). Seluruh perlengkapan emas dan perak dari Rumah Tuhan yang dirampas pun harus dibawa kembali ke Yerusalem (Ezr. 6:5). Ini adalah sebuah permulaan yang sangat menjanjikan, sebab bukan hanya orang Israel mendapat kebebasan untuk kembali dan membangun Bait Allah, mereka juga mendapat dukungan materi dan otoritas yang sah dari raja Persia.
Namun, waktu berlalu dan pekerjaan membangun Bait Allah ternyata tidak berjalan dengan mulus seperti yang diharapkan. Bukan hanya hambatan yang dari luar (Ezr. 4), tetapi juga ketidaksetiaan orang Israel mengakibatkan pembangunan berjalan begitu sulit. Tuhan mengutus Nabi Hagai dan Nabi Zakharia untuk menegur, mengingatkan, dan mendorong umat Tuhan agar bertobat, kembali setia dalam pekerjaan pembangunan Rumah Tuhan ini.
Zakharia 1:1-6
Kitab Zakharia dimulai dengan sebuah pernyataan yang tegas dari Tuhan tentang alasan dari pembuangan bangsa Israel. Kalimat pertama Tuhan yang dicatat Zakharia adalah, “Sangat murka TUHAN atas nenek moyangmu” (Za. 1:2). Orang Israel yang kembali dari pembuangan harus ingat bahwa nenek moyang mereka bisa sampai berada di Babel karena mereka dibuang Tuhan. Mereka yang kembali dari pembuangan mungkin tidak mengerti apa yang terjadi 70 tahun yang lalu karena mereka masih sangat muda. Sebagian dari mereka bahkan belum lahir untuk menyaksikan kehangatan murka Tuhan. Karena itu, mereka diingatkan bahwa bangsa Israel (Kerajaan Yehuda) kalah dan ditawan Babel bukanlah pertama-tama karena mereka kurang cerdik dalam berperang, tetapi karena Tuhan yang menyerahkan mereka ke dalam tangan raja Babel di dalam murka-Nya.
Sekurang-kurangnya ada satu hal yang patut kita renungkan dalam hal ini. Kita patut terus mengingat dan mengenal Tuhan dengan benar. Bagi umat Tuhan yang kembali dari pembuangan, sangat mudah bagi mereka untuk melupakan keseriusan murka Tuhan. Mereka yang bahkan tidak pernah menyaksikan kengerian hukuman Tuhan bisa dengan mudah menganggap enteng kesabaran dan kemurahan-Nya. Jika kita kembali melihat Kitab Hagai, kita akan melihat bahwa orang-orang buangan ini tidaklah lebih setia kepada Tuhan. Mereka lebih memperhatikan rumah dan keadaan mereka sendiri dan mengabaikan pembangunan Rumah Tuhan.
Mari kita melihat hidup kita sehari-hari. Kapan terakhir kali kita sungguh mengagumi Tuhan? Kapan terakhir kali kita menyadari kekudusan yang tidak mengenal kompromi dan kengerian murka Tuhan? Bukankah sering kali kejatuhan kita dalam dosa diawali dengan lupanya kita akan kebahayaan dan kenajisan dosa? Sesungguhnya kita terlalu sering melupakan bagaimana dosa melukai dan mendukakan hati Tuhan sehingga dengan begitu entengnya kita merasionalisasi setiap perbuatan ketidaktaatan dan pemberontakan kita. Karena itulah kita perlu terus merenungkan salib Kristus setiap waktu. Hanya di dalam salib, kita bisa melihat kekayaan, kemurahan, dan kasih Allah, dan di saat yang bersamaan juga melihat kengerian dan keseriusan Tuhan terhadap dosa. Dengan merenungkan makna salib yang paradoks ini, kita akan dipimpin untuk tidak menjadi orang Kristen yang timpang.
Peringatan murka Tuhan ini dilanjutkan dengan sebuah janji, “Kembalilah kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN semesta alam, maka Aku pun akan kembali kepadamu, firman TUHAN semesta alam” (Za. 1:3). Kita harus ingat bahwa Tuhan adalah Allah yang panjang sabar dan berlimpah kasih karunia (Mzm. 86:5). Sesungguhnya bukan Tuhan yang lambat untuk mengampuni, tetapi kita yang sering kali lambat untuk bertobat. Jika Tuhan tidak memberi diri sebagai Allah yang siap untuk menerima kembali anak yang hilang, tentu kita patut takut untuk datang kepada Tuhan dengan segala kegentaran. Bahkan wajar jika kita berusaha untuk lari sejauh mungkin dari Tuhan, karena siapa yang dapat tahan terhadap murka-Nya? “Dan siapakah yang dapat tetap berdiri, apabila Ia menampakkan diri?” (Mal. 3:2). Akan tetapi, jika Allah telah memanggil dan memberi diri ditemui oleh mereka yang mencari-Nya, kita mencari celaka kita sendiri jika kita tidak cepat-cepat datang kepada-Nya dalam pertobatan yang sejati.
Perkataan Tuhan dilanjutkan dengan peringatan yang membawa memori akan ketidaksetiaan nenek moyang mereka ke dalam benak mereka. “Nenek moyangmu, di mana mereka? Dan para nabi, apakah mereka hidup untuk selama-lamanya?” (Za. 1:5). Sesungguhnya peringatan Tuhan ini menunjukkan dengan gamblang kebodohan dosa. Kehancuran dan pembuangan Israel juga adalah sebuah hal yang sangat tidak diinginkan oleh para nenek moyang mereka. Karena itulah para nabi palsu terus mendengungkan damai sejahtera dan para pembesar Israel sangat suka mendengarkannya (bandingkan Yer. 23:16-20). Tetapi justru akibat nubuat palsu dan kedegilan hati mereka, Tuhan akhirnya membuang mereka. Lihatlah bagaimana mereka yang ingin menyelamatkan nyawanya justru kehilangan nyawanya. Bukankah kita juga sering kali demikian, mencoba mencari sukacita, kepastian, damai sejahtera di tempat lain selain dari Tuhan? Patutlah kita pun bertanya: Di manakah kesenangan dari ketidakpercayaanmu? Di manakah keamanan hidupmu yang kamu cari pada harta? Adakah damai sejahtera di hatimu dengan jalan yang kaupilih sendiri? Tuhan mengingatkan bahwa “dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yoh. 2:17; bandingkan Za. 1:6a).
Bangsa Israel yang kembali dari pembuangan berespons terhadap peringatan dan teguran Tuhan dengan respons yang sepatutnya. Zakharia mencatat bahwa mereka bertobat dan dengan penuh kerelaan menyerahkan diri mereka kepada apa pun yang Tuhan ingin lakukan kepada mereka seturut perbuatan mereka (Za. 1:6b). Inilah respons yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen.
Zakharia 1:7-17
Catatan Kitab Zakharia dilanjutkan dengan serangkaian penglihatan Nabi Zakharia, yang dimulai dari Zakharia 1:7. Penglihatan-penglihatan ini memiliki pesan yang berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Mereka tidak hanya memberi penjelasan tentang keadaan yang dialami oleh orang Israel pada saat itu, tetapi juga apa yang Tuhan hendak kerjakan di masa yang akan datang.
Dalam penglihatan pertamanya, Zakharia melihat seorang penunggang kuda merah yang berdiri di antara pohon-pohon murad di bawah sebuah jurang. Apakah itu pohon murad? Pohon murad adalah salah satu pohon yang daunnya dipakai oleh orang Israel untuk membuat pondok pada Hari Raya Pondok Daun. Dalam hari raya ini mereka diingatkan bagaimana Tuhan memimpin mereka di padang gurun, ketika mereka tinggal di pondok-pondok (Im. 23:33-43). Mereka juga menaikkan syukur mereka kepada Tuhan atas kelimpahan berkat dalam hasil panen mereka pada tahun itu. Singkatnya, ini adalah hari yang penuh sukacita di mana orang Israel merayakan kasih karunia Tuhan kepada mereka, dan daun pohon murad dipakai dalam hari raya ini. Selain itu, pohon murad juga dipakai dalam bagian lain untuk menyatakan perkenanan dan anugerah Tuhan (Yes. 55:13).
Dari ayat 11 kita mengetahui bahwa penunggang kuda itu adalah Malaikat TUHAN. Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, gelar Malaikat TUHAN cenderung merujuk kepada Pribadi Kedua Allah Tritunggal, yaitu Yesus Kristus. Sebagai Malaikat TUHAN, Ia pun bergelar Panglima Bala Tentara TUHAN (Yos. 5:14). Di belakang sang Malaikat TUHAN, berdiri beberapa penunggang kuda lainnya, dengan warna dari merah, merah jambu, sampai putih. Para penunggang kuda adalah utusan Tuhan untuk menjelajahi seluruh bumi dan memberikan laporan kepada sang Malaikat TUHAN (ay. 10-11). Di dalam laporannya dikatakan bahwa seluruh bumi ada dalam keadaan tenang dan aman.
Apakah arti dari penglihatan ini? Malaikat TUHAN berespons terhadap laporan yang Ia terima itu dengan sebuah ratapan (ay. 12). Bukankah aneh untuk meratap apabila seluruh bumi berada dalam keadaan tenang dan aman? Isi ratapan dari Malaikat TUHAN ini menjelaskan alasan kenapa Ia meratap. Sesungguhnya seluruh dunia berada dalam keadaan tenang dan aman bukan karena Kerajaan Tuhan sudah datang. Sebaliknya, umat Tuhan masih terpencar, dan kota kudus Tuhan masih dalam reruntuhan. Kemuliaan Tuhan tidak terpancar dalam keadaan tenang dan aman yang demikian. Pekerjaan Tuhan belum sepenuhnya genap.
Jika kita jujur melihat keadaan kita dan dunia di mana kita tinggal, kita pun harusnya meratap seperti sang Malaikat TUHAN. Semua orang tentu merindukan adanya ketenangan dan keamanan, akan tetapi damai yang di luar Tuhan adalah damai yang semu yang tidak akan memuaskan dan justru menghancurkan. Orang-orang yang dalam keadaan makmur secara jasmani cenderung memusingkan dirinya dengan hal-hal yang tak berarti. Negara-negara maju yang rakyatnya hidup dengan segala kecukupan justru mulai bingung melihat siapakah manusia itu. Identitas diri dan seksualitas yang begitu sederhana dibuat menjadi kabur. Manusia dipandang tidak terlalu berbeda dengan binatang, bahkan orang tua bisa lebih menyayangi binatang peliharaan ketimbang anaknya sendiri. Bukankah ini adalah sebuah keadaan yang sangat ironis? Celakanya, banyak anak Tuhan justru berlomba-lomba untuk bisa mencapai keadaan seperti itu dengan cara apa pun! Kita bangga meniru dan sama seperti dunia ini karena kita anggap itulah kemajuan dan kedamaian yang seharusnya dicapai.
Kita juga sering kali menjadi begitu tumpul untuk melihat hal-hal rohani dalam keadaan yang begitu makmur. Keadaan luar yang damai membuat kita sering tertipu dengan keadaan rohani yang dalam bahaya. Inilah juga dosa dari orang Israel yang kembali dari pembuangan. Mereka begitu sibuk mengurusi penghidupan pribadi mereka supaya tenang dan nyaman, tetapi dengan begitu mudah melupakan bahwa pekerjaan Tuhan belum selesai, dan mereka telah mundur secara rohani. Berapa banyak orang Kristen yang makin diberkati dengan kelimpahan dan kenyamanan hidup justru makin tidak peduli dengan pekerjaan Tuhan dan keadaan rohani mereka! Patutlah kita meratap seperti Malaikat TUHAN dalam penglihatan ini.
Syukur kepada Tuhan bahwa penglihatan ini tidak berhenti sampai pada ratapan sang Malaikat TUHAN. Tuhan berespons terhadap ratapan itu dengan memberikan penghiburan. Ia tidak pernah lupa akan Yerusalem dan Sion! Mata-Nya tetap tertuju pada mereka, dan kehendak-Nya untuk membangun kembali Bait Tuhan dan kota kudus Tuhan tidaklah padam, malahan sangat besar (ay. 14). Sebaliknya, murka Tuhan menyala-nyala atas bangsa-bangsa yang hidup dalam ketenangan yang di luar Tuhan. Mereka tidak takut akan Tuhan, malah berlaku begitu fasik (ay. 15). Sesungguhnya, kehangatan murka Tuhan yang adil terhadap orang-orang yang tidak setia adalah sebuah penghiburan besar bagi umat Tuhan yang menderita, tetap setia, dan terus berharap kepada Tuhan
Penglihatan ini sesungguhnya adalah pernyataan anugerah dan kesetiaan Tuhan kepada orang Israel. Tuhan ingin menyatakan bahwa hati-Nya tidak beralih dari tempat di mana Ia telah menaruh nama-Nya, yaitu umat-Nya dan kota kudus-Nya. Keadaan Yerusalem yang saat itu masih dalam reruntuhan bukanlah akhir dari cerita Tuhan. Pohon murad dan pernyataan kasih setia Tuhan selayaknya membangkitkan suatu harapan di hati orang Israel yang mendengar cerita penglihatan ini. Akan tetapi, apakah janji dari penglihatan ini sudah tergenapi sepenuhnya? Bukankah bangsa Israel kemudian kembali takluk kepada bangsa lain bahkan setelah mereka kembali dari pembuangan? Juga keadaan damai, tenteram, dan berlimpah dengan kebajikan sepertinya belum menjadi sebuah kenyataan di Yerusalem bahkan hingga hari ini. Dalam hal inilah penglihatan Zakharia ini menunjuk kepada pemenuhan yang baru akan terjadi di masa yang akan datang ketika Kristus datang kembali.
Tulisan dalam Kitab Zakharia ini mungkin sulit dimengerti oleh sebagian besar orang karena banyaknya simbol dan detail yang sangat erat dengan budaya Israel dan sekitarnya pada zaman yang lampau. Akan tetapi, tulisan ini memiliki pesan penting seperti yang telah dijelaskan di atas, yang akan menolong kita untuk melihat realitas dengan kacamata yang berbeda dari yang biasa kita lihat. Kita harus berusaha dan memohon kepada Tuhan, agar kita dapat menjadi orang Kristen yang peka akan kehendak Allah. Kita harus meneladani Kristus yang merelakan segala kemuliaan-Nya dan rela berinkarnasi untuk menjalankan kehendak Allah Bapa. Ia yang penuh dengan kemuliaan, rela untuk hidup di dalam dunia yang penuh dosa untuk menjalankan karya keselamatan yang sudah Allah rencanakan. Semangat inkarnasi inilah yang seharusnya kita miliki di dalam kehidupan umat Allah. Kehidupan yang selalu mengutamakan kehendak Allah dibanding kepentingan diri. Kehidupan yang ketika segala sesuatu berjalan lancar dan aman, kita tetap peka akan pekerjaan Tuhan yang harus dijalankan. Ketika dunia ini penuh dengan godaan untuk memuaskan kenyamanan diri, mampukah kita tetap setia dan terus peka untuk melihat kebutuhan zaman serta dengan saksama memikirkan bagaimana kemuliaan Tuhan dapat dinyatakan di tengah-tengah zaman ini? Marilah kita belajar memiliki cara pandang kritis yang alkitabiah supaya kita bisa mempunyai hikmat bagaimana harus menjalani hari-hari kita dengan kesadaran akan rencana kekal Allah yang jauh lebih besar daripada hidup kita yang singkat ini. Marilah kita juga dengan saksama meneladani kehidupan Kristus yang merelakan segala yang dimiliki-Nya, dan dengan aktif taat kepada segala kehendak dan perintah Bapa di sorga. Kiranya Tuhan menganugerahkan kepekaan dan kerelaan kepada kita untuk menjalankan kehendak-Nya di zaman ini.* buletinpillar