MENGGORES PEDIH DI TANAH RANTAU

Hati terhenyak kala melihat foto yang diabadikan. Ibu kandung memegang tangan anak dari atas mobil sedang anak yang masih berusia Sekolah Dasar ( SD ) hanya sanggup memegang tangan ibu sambil tangan sebelah menutup matanya. Ia tak sanggup mengatakan sesuatu pun. Walaupun demikian, setiap mata yang melihat keharuan rasa ibu dan anak mungkin dalam tanya yang sama, mengapa ini mesti terjadi. Seribu tanya berdegup di hati gadis kecil tersebut, tetapi ia harus menelan kepahitan hidup di saat ia sangat mendambah kasih sayang ibunya. Keduanya melepas dengan air mata. Seolah air mata menjadi saksi zaman. Bahwa situasi kehidupan membuat mereka harus ikhlas melepaskan satu terhadap yang lain.

Joni Liwu

Majalah Suara Harapan – Hampir sepekan terserang Ispa ( infekesi saluran pernapasan akut ) aktifitas pun terhenti sejenak. Iinfeksi akut yang menyerang satu komponen saluran pernapasan, tepatnya pernapasan bagian atas menyebabkan masker tak pernah tanggal dari raut muka. Bahkan hanya untuk bincang-bincang dengan rekan kerja mesti jaga jarak selain sangat khawatir jika virus ini harus perpindah. Berjibaku dengan Ispa hampir seminggu, berharap menyudahi di akhir pekan dengan legah karena agak pulih. Ternyata Sabtu akhir pekan berkisah miris, menyedihkan hingga menyayat kalbu.

Tersiar khabar di grup media sosial ( WAG ) dan facebook, seorang sanak keluarga meninggal dunia di negeri jiran Malaysia. Usia yang masih muda tetapi sukses bahkan dalam bisnis tertentu. Teman-teman sejawat yang berburu dollar di negeri jiran mengurusi pemakamannya. Sangat prihatin, karena dalam ukuran teman-temannya yang lebih banyak menjadi buru kasar di perkebunan kelapa sawit, ia bahkan cukup sukses. Ia meninggalkan kampung halaman tetapi kemudian harus meninggal dunia dan bukan di kampung halaman.

Pada hari yang sama berselang beberapa jam tersiar sebuah adegan kecil tetapi sangat menyayat kalbu. Terjadi pagi harinya, tentang seorang ibu hendak bermapitan dengan anak kandung yang ditinggal pergi ke tanah rantau. Anak kandung ditinggalkan di kampung, sedang ibu kandung harus mencari nafkah. Saya tidak hendak mengatakan bahwa keputusan untuk merantau sebagai sebuah kekeliruan atau kesalahan. Hati terhenyak kala melihat foto yang diabadikan. Ibu kandung memegang tangan anak dari atas mobil sedang anak yang masih berusia Sekoah Dasar ( SD ) hanya sanggup memegang tangan ibu sambil tangan sebelah menutup matanya. Ia tak sanggup mengatakan sesuatu pun. Walaupun demikian, setiap mata yang meilhat keharuan rasa ibu dan anak mungkin dalam tanya yang sama, mengapa ini mesti terjadi. Seribu tanya berdegup di hati gadis kecil tersebut, tetapi ia harus menelan kepahitan hidup di saat ia sangat mendambah kasih sayang ibunya.Keduanya melepas dengan air mata. Seolah air mata menjadi saksi zaman. Bahwa situasi kehidupan mebuat mereka harus ikhlas melepaskan satu terhadap yang lain.

Baca Juga :  Ditemukan Tempayan Berusia 5.000 Tahun dan Tempat Naskah Alkitab

Dua kisah menyayat yang memiliki latar hampir sama, Malaysia. Dalam frase yang agak lengkap merantau ke Malaysia. Bagi orang-orang sekampungku hingga saat ini, Malaysia atau tempat rantau lainya seperti Kalimantan ( di perkebunan kelapa sawit ) masih menjanjikan. Menjanjikan dalam pengertian upah sangat cukup dibandungkan jika ia harus merantau di tempat lain. Dengan penghasilan tersebut, mereka dapat membiayai kehidupan keluarga ( orang tua) di kampung halaman bahkan dapat menyekolahkan anak atau saudaranya yang lain.

Ilegal tetapi dipekerjakan

Tentang penyebab mereka menjadi TKI sekalipun ilegal, kita coba melihat hasil survei. Hasil penelitian yang dilakukan the Institute for Ecosoc Rights menunjukkan, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingginya migrasi TKI ke Malaysia, yaitu: (1) kesenjangan kondisi ekonomi dan jumlah tenaga kerja; (2) kesenjangan upah tenaga kerja di Indonesia dan di Malaysia; (3) kedekatan kondisi geografis, sejarah, dan budaya; dan (4) peranan calo atau “tekong” dalam proses migrasi, baik secara legal maupun ilegal. Hal terkahir ini, masih terlihat di kampung-kampung. Para calo ini pun melirik profesi baru “ memprovokasi” tenaga kerja di kapung dengan nekad. Dan terjadilah kesepakatan seperti misal segala biaya transportasi dan akomodasi selama perjalanan menjadi tanggung jawab calo. Para tenaga kerja akan menyicik ketika sudah bekerja.

Baca Juga :  Puan dan Ansy Berbagi 2000 Paket Kasih di Kupang

Beberapa pengalaman keberhasilan menjadikan niat merantau menjadi pililhan. Sayangnya keberangkatan bermodal “ nekad” alias tanpa kelengkapan secara administratif kemudian menjadikan mereka sebagai tenaga kerja ilegal. Status itu mungkin agak berbeda dengan tenaga kerja pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Namun demikian, menjadi tenaga kerja ilegal tentu berkonsekuensi terhadap keberadaan mereka di tanah rantau. Sesuatu yang mesti ditelusuri, yakni mereka dianggap tenaga kerja ilegal tetapi tenaga mereka tetap dimanfaatkan di negri jiran. Kondisi ini seperti benang kusut. Jika menyasar soal pelatihan tenaga kerja sebelum diberangkatkan, juga perlu dipertanyakan. Sampai sejauh mana peran penentu kebijakan menyelenggarakan sosialisasi juga pelatihan itu hingga ke desa-desa? Hingga sekarang, jutaan TKI berjuang dan berpeluh di tanah Jiran, dan lebih miris banyak dari merka tidak memiliki dokumen resmi. Itu berarti pula bahwa mereka itu TKI Ilegal. Meski ilegal, mereka tetap dikerjakan.Dua hal yang mesti diluruskan. Semisal, ketika dipekerjakan segala hak-hak perlindungan terhadap mereka dipenuhi.Bukan sebaliknya, melakukan razia, lalu para TKI ilegal harus umpet-umpetan.

Menurut the Institute for Ecosoc Rights di Malaysia terdapat sekitar 2 juta TKI, 40% di antaranya tidak berdokumen. Mereka bekerja di enam sektor, yaitu: perkebunan, konstruksi, pertanian, jasa, industri atau manufaktur, dan sektor domestik. Lalu apa yang menjadi permsalahan spesifik? Setiap sektor memiliki permasalahan spesifik yang menuntut penanganan khusus terkait dengan perlindungan mereka. Salah satu permasalahan yang menonjol dalam kebijakan penempatan TKI di Malaysia adalah tingginya TKI yang tidak berdokumen/ilegal, yang disebabkan oleh empat faktor, yaitu; (1) saluran migrasi legal berbelit-belit, lambat, tidak praktis, dan mahal; (2) ketentuan imigrasi Malaysia yang menempatkan TKI pada majikan tertentu di lokasi tertentu; (3) kondisi kerja yang buruk (mirip perbudakan); dan (4) minimnya informasi yang diterima TKI mengenai prosedur kerja dan kondisi kerja di luar negeri.

Baca Juga :  Berani Lantangkan Kebenaran

Solusi?

Mengacu hasil penelitian di atas, beberapa skema perlindungan bagi TKI di Malaysia mensyaratkan tiga hal berikut: (1) pembenahan manajemen penempatan TKI; (2) langkah-langkah terobosan dalam hal layanan perlindungan yang melibatkan partisipasi TKI dan seluruh komponen masyarakat Indonesia yang berada di Malaysia; dan (3) strategi diplomasi efektif yang berperspektif “bukan hanya kita yang membutuhkan pekerjaan dari Malaysia, melainkan ekonomi Malaysia juga sangat bergantung pada TKI.” Dengan perspektif ini, diharapkan Indonesia memposisikan diri sebagai bangsa yang bermartabat dalam seluruh diplomasi yang terkait dengan TKI. Selain itu, revisi UU PPTKILN yang sampai saat ini masih dilakukan di DPR perlu lebih memfokuskan aspek perlindungan TKI, mengingat masih kecilnya porsi perlindungan dalam undangundang ini. Revisi UU PPTKN harus dapat menjawab kritik yang muncul selama ini yang menyatakan bahwa UU PPTKILN hanya menitikberatkan aspek penempatan dan menganggap TKI sebagai komoditi tanpa memperhatikan aspek perlindungan TKI. Joint Task Force yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia untuk membahas persoalan TKI juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap penempatan TKI di negara itu, terutama yang berkaitan dengan masalah perlindungan TKI.

Lalu bagaimana dengan tenaga kerja ilegal yang hari-hari memdarmabaktikan tenaga untuk negara tetangga? Kematian sejumlah tenaga kerja di Malaysia, entah dipulangkan dan masih banyak lagi yang tidak dipulangkan karena ilegal, menjadi isyarat bahwa aspek perlindungan belum sepenuhnya mendapat perhatian. Kematian tenaga kerja mesti membuka mata hati para penentu kebijakan hingga ke tingkat desa agar tidak membiarkan mereka terlena dengan lembaran-lembaran dolar, tetapi lebih peduli terhadap kesalamatan lahir juga batin. Instansi terkait mesti membenahi segala sesutau yang berhubungan TKI agar mereka bukan dijadikan budak tetapi lebih sebagai TKI legal, sebagai penyumbang devisa untuk negeri ini.****

Komentar