Bagaimana reaksi gereja terhadap perkembangan ini? Gereja bertindak laksana sekelompok tentara yang berperang sambil mundur karena tidak mampu mempertahankan teritorinya.
Akhirnya gereja hanya mampu mempertahankan sepotong teritori yang disebutnya “the ultimate questions” (pertanyaan-pertanyaan terakhir). Tuhan di sini makin lama makin tersisih hingga sampai ke pinggir sepotong teritori tadi.
Suara harapan – Ungkapan ini berasal dari Dietrich Bonhoeffer (DB) teolog yang digantung Hitler menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Secara harafiah berarti “Kekristenan Tanpa Agama”. Apa maknanya?
Bagi DB, agama telah melakukan “lompatan” dari satu bahagian kehidupan ke bahagian kehidupan lainnya yang ternyata makin lama makin sempit.
Tentu saja teologi pernah menjadi ratu ilmu-ilmu pengetahuan. Gereja pun mendominasi seluruh bidang kehidupan manusia. Manusia harus tunduk kepada koreksi-koreksi yang dilakukan gereja.
Namun sejak Renaisans, manusia telah makin mengambil-alih dunianya sendiri. Manusia makin bertindak tanpa membutuhkan ide tentang Tuhan. Ilmu pengetahuan sudah berkembang begitu rupa dan mengagumkan tanpa merasa perlu merangkul Tuhan di dalam formula-formulanya.
Bagaimana reaksi gereja terhadap perkembangan ini? Gereja bertindak laksana sekelompok tentara yang berperang sambil mundur karena tidak mampu mempertahankan teritorinya. Akhirnya gereja hanya mampu mempertahankan sepotong teritori yang disebutnya “the ultimate questions” (pertanyaan-pertanyaan terakhir). Tuhan di sini makin lama makin tersisih hingga sampai ke pinggir sepotong teritori tadi.
Namun, sepotong teritori ini pun, menurut DB sedang mengalami penyusutan. Gereja harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang disebut pertanyaan-pertanyaan terakhir tadi makin dapat ditangani oleh dunia tanpa melibatkan agama (gereja) di dalamnya. Ilmu pengetahuan cenderung memperlihatkan kemampuan menangani “the ultimate questions” tersebut.
Maka DB menyerukan untuk mengakhiri pertarungan yang tidak bermartabat ini. Gereja harus mampu mengeklaim seluruh hidup bagi manusia. Itu juga berarti, mengeklaim seluruh hidup bagi Kristus.
Ini tidak berarti gereja makin memperluas “wilayah”nya. Kalau gereja melakukan hal itu, maka itu sama halnya meletakkan kembali manusia ke dalam perwalian, yaitu status masa remaja abadi. Pada hal manusia sudah mencapai taraf kedewasaan (Mondigkeit).
Yang dimaksud adalah, gereja mestinya tidak berminat secara khusus kepada agama, tetapi kepada kehidupan manusia secara menyeluruh. Kristus, kata DB memanggil kita bukan untuk menjadi religius, melainkan untuk menjadi manusia.Demikian Dietrich Bonhoeffer yang sangat menekankan Kristus sebagai manusia bagi orang lain.
Saya kira bagus kita merenungkan kata-kata DB ini ketika gereja-gereja kita cenderung mempersempit dirinya hanya sebagai lembaga agama, yang hanya sibuk dengan “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, yang menekankan hanya kepada kehidupan religius dan kesalehan (pribadi). Kecenderungan gereja-gereja kita di Indonesia yang hanya mementingkan kelembagaan ketimbang peranannya yang mestinya berada di tengah-tengah manusia dan “menjadi manusia bagi sesama” rasanya perlu direnungkan secara serius.
Yang lebih parah adalah, gereja-gereja kita, sadar atau tidak sadar menjadi lembaga agama yang hanya mempertahankan sepotong teritori yang oleh DB disebut, “the ultimate questions” yang makin lama makin dapat dipecahkan oleh berbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai lembaga ia cenderung mengisolasikan dirinya di dalam batas-batas teritori yang dianggapnya aman itu. Pada hal, gereja, sebagaimana dikatakan oleh Karl Barth, adalah “Peristiwa” (Ereignis).
Sebagai Peristiwa gereja mestinya ikut berputar dan bergerak secara dinamis dengan berbagai peristiwa yang berlangsung dalam dunia.
Selamat Natal 2022 dan Tahun Baru 2023.*Pdt. Zakharia Ngelow