Suara Harapan – Keluarga-keluarga Kristen yang berbahagia. Setiap kita pasti mempunyai kerinduan yang sama, yakni hidup dalam sebuah keluarga yang berbahagia. Waktu seorang laki-laki melamar seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dalam benaknya ada kerinduan yang dalam untuk membangun rumah tangga yang bahagia bersama pasangannya. Kerinduan yang sama juga ada di angan-angan mempelai perempuan yang disunting sebagai istri. Lahir dalam rumah dan keluarga yang rukun dan akur, juga merupakan dambaan setiap anak manusia. Memang, seorang bayi tidak sempat memilih untuk lahir dari ibu atau ayah tertentu. Si bayi lahir begitu saja, tanpa peduli apakah laki-laki dan perempuan yang menjadi ayah dan ibunya siap menerima kelahirannya. Tetapi begitu seorang bayi lahir dalam dunia, dalam dirinya berkembang insting, atau naluri untuk dicintai dan mencintai orang lain.
Pengetahuan ini baru saya miliki beberapa minggu lalu. Suami saya membaca sebuah buku psikologi, berjudul moral intellegence. Si penulis bercerita tentang pengalaman bekerja di rumah bersalin. Dia pernah menjadi bidan yang bertugas merawat para ibu dan bayi yang baru melahirkan. Sebuah pengalaman yang menakjubkan, kata si perawat. Seorang bayi yang baru berumur dua jam, ternyata sudah memiliki rasa cinta, dan akan bereaksi terhadap cinta, dengan cara menangis. Pengetahuan itu ia miliki melalui pengamatan sebagai berikut. Kalau salah seorang bayi dalam zaal itu menangis, bayi-bayi lain juga ikut menangis. Para psikolog yang mempelajari perilaku bayi-bayi pasca dilahirkan menamakan reaksi ini neonate responsive crying (respon dalam bentuk menangis setelah dilahirkan). Seorang bayi pasti menangis sebagai reaksi dia terhadap penderitaan dan kesulitan bayi lain, bahkan juga orang lain yang ada di sekitarnya.
Saudara-saudari jemaat, mungkin saja ada di antara kita yang berpendapat bahwa kesimpulan ini bersifat mengada-ada. Bisa. Perawat yang bertugas tadi juga berpikir begitu. Untuk membuktikan benar tidaknya kesimpulan mereka bahwa seorang bayi yang baru berumur dua jam membutuhkan kasih sayang, dan bisa mengasihi sesamanya, mereka melakukan uji coba berikut. Perawat ini mengambil sebuah tape dan merekam suara seorang bayi yang sedang menangis. Rekaman itu kemudian diputar lagi untuk didengar si bayi. Dari sepuluh sampel yang dibuat hanya satu yang berhasil. Maksudnya, hanya satu bayi saja yang ikut menangis mendengar rekaman suaranya dalam keadaan menangis. Tetapi kalau kepada sepuluh bayi tadi diputar rekaman suara tangisan bayi, mereka otomatis ikut menangis.
Hasil uji coba ini membawa para psikolog pada kesimpulan tadi: respon seorang bayi dalam bentuk menangis setelah dilahirkan menunjukkan bahwa manusia sejak waktu lahir memiliki kemampuan untuk mencintai dan rindu untuk dicintai (Lennick – Kiel 2005, Moral Intellegence, hlm. 22).
Dengan contoh yang agak panjang ini, bapak-ibu, saudara-saudari yang kekasih, saya harap menjadi jelas bagi kita bahkan semua manusia, baik yang di kota maupun yang di desa mempunyai kerinduan yang sama untuk dikasihi dan mengasihi. Dan tempat paling pertama dan utama di mana naluri untuk dicintai dan mencintai bisa ditumbuh-kembangkan adalah di rumah tangga. Rumah tangga di mana anggota-anggotanya hidup dalam cinta kasih yang saling memberi dan menerima akan melahirkan manusia-manusia yang cerdas secara emosional dan dewasa dalam bertindak-tanduk. Keluarga-keluarga yang menjadikan kasih sebagai sebagai daya yang mengikat satu kehidupan bersama dari anggota-anggotanya, pasti membuat anggota-anggota itu memiliki kekuatan moral untuk menahan berbagai godaan buruk, sekaligus memampukan qnggota-anggotanya mengembangkan daya kreatif cinta kasih dan kepedulian terhadap penderitaan sesama yang ada di sekelilingnya. Satu lagi, saudara-saudara. Keluarga dan rumah tangga yang hidup dalam kasih mesra, anggota-anggotanya bukan hanya siap untuk mengasihi tetangga dan sesama, tetapi mereka juga akan menerima perhatian dan kasih dari tetangga dan sesama dengan siapa mereka bergaul dan berinteraksi.
Mazmur 128 yang kita baca tadi menyaksikan kepada kita tentang indahnya berkat, sukacita, dan kebahagiaan dari rumah tangga dan keluarga-keluarga yang anggota-anggotanya mau hidup dalam kasih satu terhadap yang lain.
Berkat pertama yang tersedia bagi keluarga dan rumah tangga yang hidup berdamai, saling menerima dan menghormati, seperti yang ditunjukan dalam Mazmur ini adalah kenyamanan dan ketenangan dalam memakan hasil pekerjaan dan upah dari usaha. Tidak ada yang akan mengganggu dan mengusik sukacita orang yang hidup dalam kasih, waktu mereka duduk bersama untuk menikmati hasil pekerjaan tangannya di rumah. Pemazmur menggambarkan sukacita itu dengan lukisan dari dunia pertanian. “Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu.”
Artinya ada suasana damai dan sukacita waktu keluarga itu duduk makan bersama. Tidak ada saling curiga. Jam di mana mereka duduk makan bersama dipenuhi dengan tawa-ria dan pengucapan syukur. Mengapa? Karena makan yang terhidang di meja makan itu diperoleh secara halal. Mereka memakan hasil jerih payah tangan sendiri, bukan makanan yang diperoleh karena memeras, menindas, atau memperdaya orang lain.
Saudara-saudara, apakah suasana makan bersama dengan sukacita antar anggota keluarga di keliling meja makan seperti digambarkan tadi masih dialami dalam keluarga-keluarga masa kini? Saya tidak tahu. Tetapi dalam banyak keluarga yang saya kenal, suasana itu telah hilang. Biasanya televsi yang menyebabkan keluarga tidak bisa kumpul di sekitar meja makan untuk makan bersama, apalagi berdoa. Kita butuh kerja keras untuk mengembalikan suasana makan bersama dengan sukacita di antara anggota kelauarga.
Rumah tangga dan keluarga-keluarga yang menjadikan kasih sebagai daya perekat dan pengikat kehidupan anggota-anggotanya, selanjutnya digambarkan sebagai yang ditentukan Tuhan menjadi tujuan dari berkat yang akan Ia kirim dari Sion. Ayah dan ibu dari rumah tangga tersebut dikatakan akan beroleh kesempatan untuk melihat anak-anak dari anak-anak mereka. Artinya, orang-orang yang hidup dalam rumah dan keluarga di mana anggotanya saling mengasihi dan hormat menghormati akan berumur panjang dan memasuki masa tuanya dalam sukacita. Rasanya apa yang dikatakan oleh Mazmur ini tidak mengada-ada. Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa banyak dari orang tua yang anak-anaknya hidup tak karuan justru tidak berumur panjang. Mereka mengalami tekanan jiwa, dan buru-buru meninggal dunia. Kalau pun mereka bertahan hidup, tubuh mereka tidak subur, dan raut muka mereka tidak bercahaya. Sumur sukacita dan kebahagiaan dalam hati mereka kering karena habis ditimba untuk menyiram suasan hidup keluarga dan rumah tangga mereka yang kering kerontang. Sebaliknya, banyak dari orang yang bertahan sampai usia lanjut karena mereka memiliki anak-anak yang mengasihi dan memperhatikan mereka.
Jemaat yang kekasih di dalam kristus, manusia terlahir dengan naluri untuk dikasihi dan mengasihi orang sesama. Rumah tangga dan keluarga-keluarga membangun relasi mereka atas dasar kasih pasti menikmati banyak berkat yang disediakan Allah. Karena itu, baiklah kita memperbanyak kegiatan-kegiatan dalam keluarga dan rumah tangga di mana anggota-anggotanya bisa menghayati kebersamaan mereka dalam kasih. Orang-orang juga perlu lebih banyak meluangkan waktu untuk tinggal di rumah untuk menemani, dan memperhatikan anak-anak mereka. Sebab relasi yang kuat antara anak dan orang tua, merupakan perisai yang tangguh menghadapi panah api si jahat. Sebaliknya, rumah tangga yang di dalam kasih jarang ditemukan, justru akan menuai banyak badai dan bencana. Marilah, di bulan keluarga ini, kita kembali memperbaharui tekad dan janji kita untuk makin memperbanyak kasih dan cinta dalam rumah dan keluarga yang di dalamnya kita hidup. Allah sumber segala kurnia dan berkat, menolong keluarga dan rumah tangga kita, sekarang dan selamanya, amin. ]]>