Kupang, Suara Harapan – Debat terakhir Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berakhir dengan kekecewaan karena minimnya perhatian terhadap isu kepulauan dan pesisir Indonesia.
Tema debat yang mencakup lingkungan hidup, pangan, Sumber Daya Alam (SDA), serta masyarakat adat dan desa, tidak menggali secara memadai dampak perubahan iklim di pulau-pulau kecil.
Yayasan Pikul melalui siaran pers yang diterima Suara Harapan mengatakan bahwa tidak adanya perhatian terhadap isu pesisir dan pulau-pulau kecil, mencerminkan kurangnya pemahaman tentang Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Para calon pemimpin tampaknya melupakan sejarah perjuangan Indonesia untuk diakui sebagai negara kepulauan, yang ditandai dengan konsep Wawasan Nusantara di Hukum Laut Internasional,” demikian pernyataan Yayasan Pikul.
Sebelum debat, Yayasan Pikul menegaskan pentingnya membahas keadilan iklim dan ketahanan kepulauan dalam debat. Namun sayangnya, tema tersebut terpinggirkan.
Tidak hanya itu, pembicaraan cawapres lebih fokus pada isu lingkungan di daratan, seperti pertanian dan kebijakan lahan, tanpa memberikan perhatian serius terhadap ekosistem kepulauan dan nelayan.
Ketidakpedulian terhadap potensi bencana alam di pulau-pulau sangat disayangkan mengingat perubahan iklim dapat memperparah kerentanan masyarakat pesisir.
“Siklon Tropis Seroja di Pulau Rote dan wilayah lainnya mencerminkan dampak mematikan, namun tidak ada satu pun kandidat yang membahas bagaimana mencegah korban lebih lanjut dari krisis iklim di garis depan kenaikan muka air laut.”
Masyarakat pesisir, terutama kelompok nelayan kecil, menghadapi tantangan ganda dari krisis iklim, eksploitasi SDA, dan kebijakan yang membatasi akses mereka. Kerusakan ekosistem terumbu karang dan pembatasan jangkauan wilayah tangkapan menimbulkan dampak serius pada kelompok ini, tanpa ada komitmen nyata untuk perlindungan mereka dari kerusakan ekosistem akibat ekstraksi dan hilirisasi industri.
Dalam keseluruhan debat, tidak terdengar komitmen dari cawapres untuk menghentikan dan memulihkan kerusakan ekosistem pulau. Hilirisasi dianggap sebagai solusi tanpa tindakan konkret pemulihan, sementara pulau-pulau di Indonesia hanya dilihat sebagai lokasi potensi eksploitasi SDA, tanpa memperhitungkan integritas sosial dan lingkungan.
Yayasan PIKUL menegaskan bahwa pimpinan negara ke depan harus mampu mengatasi ancaman krisis iklim sambil melindungi wilayah kepulauan dan pesisir dari eksploitasi yang tidak terkendali.
“Ketahanan dan keadilan iklim harus menjadi agenda utama agar pulau dan rakyatnya selamat kini dan di masa datang.”