Menjadi kristen sejati bukan soal pintar berteologi. Tidak sekadar punya iman yang kuat, punya banyak talenta dan karunia. Tapi bagaimana aktif mengaktualisasi iman dan pemahaman. Salah satu caranya adalah, dengan punya kepedulian terhadap orang.
Punya empati terhadap mereka yang sedang mengalami kesusahan. Kepedulian dan empati itu diwujudnyatakan dalam bentuk dorongan/dukungan terhadap jemaat lain yang sedang kesusahan, orang-orang kudusNya.
Di penghujung suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus, Paulus kembali mengalihkan perbincangan, dari soal permasalahan-permasalahan penting dalam jemaat, kepada hal-hal yang lebih praktis.
Tentu saja masih dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan jemaat di Korintus. Dan pertanyaan yang dia jawab kali ini menyangkut soal pengumpulan uang bagi orang kudus di Yerusalem.
Orang-orang kudus yang dimaksudkan di sini tidak selalu mengacu pada satu orang atau tokoh tertentu, meskipun pengertian dasar istilah “orang kudus” (Yun. _hagios_) adalah pemisahan dari dosa dan diperuntukkan bagi Allah. Orang kudus adalah “orang yang dipisahkan untuk Allah” atau “orang suci Allah”. Namun tidak selalu berarti itu adalah penginjil atau hamba Tuhan seperti Paulus.
Tetapi istilah Alkitab yang secara umum mengarah pada semua orang percaya, dan dalam konteks ini adalah jemaat di Yerusalem yang sedang mengalami kesusahan dan penindasan dan diskriminasi secara sosial, agama (Yahudi) dan politik.
Orang berkeinginan membantu orang lain, apalagi itu bagian dari satu kesatuan jemaat Tuhan, adalah hal yang baik dan keharusan. Oleh karena itu hasrat yang positif itu perlu dibarengi dengan sikap hati dan diri serta proses yang teratur pula. Dengan begitu niscaya terhindar dari ketidaktepatan sikap dalam memberi, kekacauan dan penyelewengan.
Di sinilah Paulus kemudian memberikan saran-saran praktis kepada jemaat Korintus, agar, ketika mereka mengumpulkan pemberian tidak melakukannya dengan asal-asalan, apalagi karena terpaksa. Hanya kalau ada Paulus di situ/datang saja, baru jemaat mengumpulkan uang (16:2). Tetapi, alangkah baiknya kalau jemaat secara mandiri, masing-masing orang mendisiplinkan diri: mempersiapkan persembahan terbaik dengan menyisihkan dan menyimpannya di rumah, sesuai dengan apa yang diperoleh, untuk dibawa ke persekutuan/perkumpulan jemaat yang diadakan setiap hari pertama di tiap minggunya (16:2).
Dengan demikian, persembahan yang diberikan oleh jemaat Korintus betul-betul didasarkan atas sikap hati yang benar, tidak hanya ditunjukkan dengan “keikhlasan”, tapi juga pemberian terbaik yang diperkenan Allah. Jika dibandingkan dengan suratnya yang ke II kepada jemaat Korintus, pasal 8 dan 9, akan memberi gambaran, pedoman dan dasar yang lebih jelas tentang bagaimana orang memberi. Di sana ada instrumen penting seperti:(1) secara teratur; (2) sebagai prioritas; (3) secara sukarela; (4) sukacita, dan (5) secara proporsional. Model dan prinsip memberi seperti demikian tidaklah esklusif kepada jemaat Korintus, tapi berlaku umum, termasuk kepada jemaat di galatia.
Saran praktis yang diberikan Paulus selanjutnya adalah, agar menunjuk orang yang tepat, orang yang layak (16:3), yang berintegritas, agar persembahan yang sudah diupayakan dengan baik, melalui cara dan prinsip benar, dilaksanakan dalam keteraturan itu dapat disampaikan dengan utuh dan baik. Hal ini penting, sebab tidak sedikit terdengar kasus tentang penyelewengan uang persembahan. Meskipun mungkin tidak terjadi di era Paulus, memilih orang yang benar setidaknya meminimalisir risiko penyelewengan.
Memilih perwakilan dari jemaat juga menghindarkan Paulus dari tuduhan dan fitnahan yang tidak benar kepadanya, jika Paulus dianggap perlyu ikut Yerusalem menyampaikan persembahan tersebut (16:4). Tuduhan yang datang dari sebagian kecil orang yang tidak saja absen menghargai pelayanannya, tapi juga merendahkan kredibilitas dan kewibawaan rasuli Paulus (9:3-18). ]]>