IMAN KRISTEN DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID 19 DAN KESIAPAN MENERIMA VAKSIN

Education84 Views

Dr. Simon Kasse, M.Pd.K. 
Suara Harapan Semenjak pandemi ini muncul lalu menyebar ke berbagai Negara di dunia sehingga mengakibatkan ribuan orang terpapar, ada sebagian orang sembuh tetapi banyak orang meninggal dan apabila kita menyimak di berita di Televisi dan media lainnya tentang data pasien yang terpapar menunjukkan jumlah semakin meningkat setiap hari karena itu akan terus mengancaman nyawa manusia. Di sisi lain pandemic ini memberi dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan diberbagai sector: social, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Di berbagai Negara telah menyikapinya dengan berbagai tindakan: dengan melakukan Lock down atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), penerapan protocol kesehatan dengan melakukan 3 M: Menjaga jarak, Memakai masker, dan Mencuci tangan, ini diterapkan kepada masyarakat demi menyelamatkan diri dari wabah pandemic yang sangat kejam. Pertanyaan, apakah sikap tersebut dapat mengalahkan virus corona? Menurut hemat saya ini belum efektif karena disetiap Negara hingga di daerah-daerah memiliki pandangan yang berbeda-beda dari sisi budaya, social, dan agama, apalagi  pembatasan social berskala besar sedikit mengganggu eksistensi manusia sebagai makluk social yang terus berinteraksi demi kesejahteraan serta pengembangan kehidupan. karena itu harapan kita adalah adanya penemuan  obat vaksin oleh para ahli sehingga dapat mengatasi pandemic ternyata harapan ini telah dicapai namun tetap menerapkan protocol kesehatan. Kapankah vaksin akan melumpuhkan wabah Corona? Kita bersyukur kepada Tuhan karena vaksin telah ada di Indonesia dan pemerintah mulai mendistribusikan keberbagai propinsi untuk segerah digunakan. Tanggal 13 januari 2021, melalui tayangan Televisi dan media lainnya kita menyaksikan bapak Presiden RI bapak Jokowi Widodo telah menerima suntikan vaksin dan diikuti oleh para pejabat diberbagai kementerian kemudian akan dilanjutkan kepada masyarakat sebagai penerima vaksin diberbagai pelosok wilayah Negara Republik Indonesia, namun tidak terlepas dari rasa kuatir dan takut oleh sebagian masyarakat yang akan divaksinasi, karena factor psikologis, kepercayaan, budaya yang turut mempengaruhi masyarakat karena itu perlu ada pendekatan persuasive sekaligus edukasi. Oleh karena itu sebelum menjawab pernyataan diatas, saya menggambarkan sedikit tentang sejarah pandemic Polio yang juga menglobal seperti Covid 19. Sekilas sejarah Polio dapat memberi edukasi yang baik bagi kita untuk bersikap ditengah pandemi covid 19. Tentang  wabah pandemic Polio yang secara ringkas saya kutip dari buku yang ditulis oleh TIM STAFFORD Judul Buku: SURPRISED BY JESUS. Hampir disepanjang abad kedua puluh, polio jadi pembunuh yang menakutkan. Penyakit ini secara khusus menyerang anak-anak, yang kerap mati perlahan-lahan dalam masa yang kejam, ketika kelumpuhan merebut kemampuan mereka untuk bergerak dan, pada akhirnya tidak bernapas. Epidemi ini menyapu komunitas demi komunitas dan membunuh secara acak. Semua upaya medis terbukti sia-sia. Jane Smith, seorang sejarawan menulis bahwa pada decade 1930-an dua periset medis Amerika: Maurice Brodie dan John  Kolimer, secara terpisah mengembangkan sejumlah vaksin yang awalnya mereka uji cobakan pada monyet, lalu kepada manusia. Keduanya gagal, dan vaksin Kolimer secara tragis justru menularkan polio pada banyak orang yang mencobanya. Dia mengatakan “Bapak-bapak yang budiman, hanya di saat inilah saya berharap lantai ini terbelah dan menelan saya.” Demikian Kolimer dalam sebuah pertemuan dengan para koleganya. Karena jera, para periset lain pun menarik diri. Polio menyebar lebih cepat selama Perang Dunia ke II, mungkin karena pergerakan pengungsi dan serdadu secara besar-besaran. Epidemi terburuk dalam sejarah Amerika terjadi setelah perang itu berakhir, dan mencapai puncak pada awal decade lima puluhan: 58.000 kasus pada tahun 1952-an. Jonas Salk mulai meneliti polio pada tahun 1947. Oleh karena masih baru di bidang ini, ia mencoba sejumlah inovatif yang berhasil mempercepat risetnya. Ia kembali menggunakan pendekatan Maurice Brodie, yang mencakup upaya mengisolasi virus polio dan membunuhnya dengan menggunakan zat kimia formalin. Pengujian awal terhadap vaksin ternyata “virus yang terbunuh” cukup menjanjikan sehingga dinilai layak memasuki uji coba lapangan besar-besaran pada dua juta orang anak di tahun 1954. Eksperimen itu memang berlebihan dan sangat mahal, tetapi kepanikan atas polio membuat hal itu bisa ditoleransi. Pada tanggal 12 April 1955, hasilnya diumumkan dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan langsung lewat radio dan televisi. Vaksin itu ampuh. Peluang anak-anak yang divaksinasi terkena polio hanya setengah. Tak hanya itu, resiko terkena kelumpuhan parah pada mereka yang terjangkit pun lebih kecil. Berita ini direspons dengan euphoria. Smith menulis mengenai hal ini demikian. “Karena bersemangat mendengar laporan perdana mengenai keampuhan vaksin itu, para warga yang kegirangan (warga Kristen) bergegas menyembunyikan lonceng gereja dan sirene kebakaran, berteriak-teriak, bertepuk tangan, bernyanyi, dan membuat berbagai jenis keriuhan tanda sukacita. Dewan kota dan dewan perwakilan Negara bagian menghentikan kegiatan rutin mereka untuk membuat draf resolusi yang memberi selamat kepada Salk atas pencapaian luar biasanya itu.” Sebenarnya, polio masih tetap membuat orang sakit. Pembuatan vaksin yang cukup bagi seluruh warga Amerika butuh waktu 2 tahun. Bahkan, pada tahun 1970 – lima belas tahun setelah temuan itu – hanya sekitar tujuh puluh persen warga Amerika Serikat usia dibawah dua puluh tahun yang tela divaksinasi. Langkah ini pun masih belum menyentuh problemanya secara global. Sekitar 100.000 kasus diperkirakan dilaporkan di seluruh  dunia pada tahun 1993, dan polio muncul kembali di Negara-negara dimana penyakit itu pernah dieliminasi. Polio memang penyakit yang keras kepala dan kejam, bahkan pada saat ini, ketika alat-alat bantu untuk eradikasinya tersedia secara luas. Lalu apa yang dirayakan warga Amerika Serikat dalam kegirangan luar biasa seperti pada tanggal 12 April 1955 tiu? Jawabannya yang paling sederhana dan benar adalah mereka merayakan kekalahan polio. Dari gambaran sejarah tersebut kita menimbah pengalaman bahwa Polio juga penyakit yang sangat kejam karena banyak anak yang meninggal, namun melalui penemuan vaksin oleh Salk dapat mengalahkan pandemi Polio walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama. Kita menyimak gambaran tersebut tahun 1947: Jonas Salk mulai meneliti polio; Tahun 1954: Pengujian awal terhadap vaksin ternyata “virus yang terbunuh” cukup menjanjikan sehingga dinilai layak memasuki uji coba lapangan besar-besaran pada dua juta orang anak;  Pada tanggal 12 April 1955, hasilnya diumumkan dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan langsung lewat radio dan televisi. Vaksin itu ampuh. Peluang anak-anak yang divaksinasi terkena polio hanya setengah. Tahun 1993 Polio muncul kembali di berbagai Negara tetapi vaksinasi terus dilakukan sehingga akhirnya pandemi polio dikalahkan. Suntikan polio bagi anak-anak hingga kini menjadi bukti new normal yang terus ditaati oleh masyarakat dari masa ke masa. Dengan demikian sesuai pengalaman pandemi polio, kita yakini bahwa vaksin akan mengalahkan virus corona dengan tetap menerapkan protocol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai bukti hidup di era new normal. Kita beriman bahwa pandemi Covid 19 akan berlalu Menurut Yewangoe dalam buku “Allah mengijinkan manusia mengalami Diri-Nya” mengatakan Iman yang cerdas, yang mengindikasikan bahwa iman memang harus dipertanggungjawabkan secara intelijen (‘cerdas’). Apakah ‘intellijen” identik dengan ilmiah? belum tentu juga, sebab kalau begitu iman secara simpel ditempatkan di bawah hukum-hukum dan kaidah-kaidah ilmu yang serba terbatas juga. Pada hal, iman melampaui semua itu. Karena itu setidak-tidaknya, iman harus bisa ‘dipahami’. Di masa lulu dalam sejarah teologi, iman dipersepsi sebagai sesuatu yang ‘mustahil’. Ini menyiratkan bahwa iman adalah sesuatu yang tidak perlu diperanggungjawabkan, apalagi secara intelijen/cerdas. Bahkan orang berpendapat bahwa makin mustahil sesuatu makin dapat dipercayai dan bagi saya sikap iman seperti ini sulit untuk menemukan bukti dan harapan yang dicapai. Jadi dalam menghadapi wabah pandemic ini (covid 19), kita percaya tidak lagi mengandalkan kemustahilan, tetapi iman cerdas atau ‘iman mencari pengetahuan’ secara ontologism Allah ada dalam pikiran kita, lalu kita berpikir mengenai Allah. Allah bereksistensi menjadi manusia. Ini contoh iman yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan ini menjadi pergumulan orang-orang beriman sepanjang zaman. Untuk itu iman hidup atau dihidupi ditengah-tengah masyarakat yang dinamis yang penuh persoalan, ancaman bagi manusia. Dalam hubungan dengan pengertian Iman dalam Ibrani: 1:11 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” Pengertian iman ini menjadi latar belakang oleh sebuah pengalaman tentang kejadian-kejadian disekitar Alkitab Perjanjian Lama, sebagai sumber Iman untuk mencari pengetahuan dan ini digunakan sebagai dasar dan bukti untuk menemukan jawaban-jawaban sekaligus harapan yang utuh tentang Iman. Oleh karena itu Ibrani 1:11 merupakan sebuah pengertian iman yang utuh dan sempurna bagi kita. Tetapi tidak mudah untuk menjalaninya sebab butuh keberanian, perjuangan, tekad untuk tekun, pengorbanan dan kesungguhan untuk mencapai sebuah harapan yang menjadi bukti untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Dan ini telah dijalani oleh tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang digambarkan dalam kitab Ibrani 11:2-40,  bagian ini memberikan gambaran bahwa Allah mengijinkan mereka mengalami Diri-Nya: Abraham, Ishak, Yakob, Musa telah mengalami eksistensi Allah dalam setiap peristiwa: peristiwa alam, wabah, peran, bencana kemanusiaan dan sebagainya.  Karena itu Iman tidak sesimpel membalik telapak tangan sebab iman diperhadapkan dengan berbagai kemelut persoalan, tantangan, ancaman yang terus terjadi dalam masyarakat yang dinamis. Tetapi semuanya akan menuntun kita ke tatanan hidup yang baru yang awalnya kita tidak membayangkan. Kita cenderung menolak sebuah tatanan baru, kita ingin ada di situasi normal sebelum pandemi covid 19, hal yang sama dilakukan oleh umat Israel ketika tiba di padang gurun mereka mengajukan protes/demonstrasi terhadap Musa karena mereka diperhadapkan dengan ancaman kelaparan di padang gurun, mereka ingin kembali ke Mesir karena hidup ‘nyaman’. Kita telah ada di tatanan baru/normal baru dan tidak mungkin kembali ke normal seperti awal tahun 2018. Oleh sebab itu  dibutuhkan iman yang cerdas/ Intelijen Faith karena itu menurut Imanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Yewangoe, Kant memilah ‘dunia’ yaitu: dunia fenomenal dan dunia noumenal. Dunia fenomenal adalah dunia yang kita alami sebagai rangkaian gejala-gejala yang memasuki akal kita. Akan tetapi, gejala-gejala itu masih merupakan bahan mentah yang harus diatur dan ditata oleh yang disebut kategori-kategori berpikir kritis. Dengan demikian jalaslah bahwa sesuatu yang empiris tidak dapat secara telanjang diserap oleh ‘rasio’ tanpa diatur dan ditata, karena itu harus cerdas.  Sedangkan dunia noumenal adalah dunia yang bebas atau lebih tepat dunia yang berada di atas dunia fenomenal, yang tidak tunduk kepada dunia fenomenal yang dibatasi  oleh raung dan waktu. Karena itu Allah termasuk pada dunia noumenal yang menguasai dunia fenomenal. Iman yang cerdas adalah iman yang menggumuli dunia fenomenal dan akan menembus pada dunia noumenal (Leluhur Israel). Telah menjadi kebiasaan bahwa orang cenderung berpikir tentang surga atau akhirat dengan tidak mempedulikan hal-hal dunia dan sebaliknya orang mengutamakan dunia fenomenal/kaidah ilmiah dari pada dunia noumenal (surge), mestinya ada keseimbangan yaitu ada perjumpaan antara dunia fenomenal dan nouminal yang kita sebut iman yang cerdas. Misalnya: seorang mahasiswa beriman bahwa akan menjadi seorang sarjana. Harapan iman ini akan menjadi bukti apabila melalui berbagai fenomena akademik yang membutuhkan perjuangan yang kokohdan akhirnya menerima bukti keberhasilan yang diraih.  Jadi eksistensi manusia tidak hanya mengurus surga tetapi mengurus dunia karena didalamnya manusia berpijak dan bergumul untuk meninggalkan keteladanan iman bagi generasi berikutnya, karena itu perlu iman yang cerdas/intelligent faith. Kita percaya untuk menemukan kehadiran dan kemahakuasaan Allah melalui penemuan vaksin yang dalam waktu yang tidak lama akan didistribusikan ke berbagai tempat untuk divaksinasikan kepada masyarakat. Dan diyakini bahwa banyak orang dapat sembuh dari ancaman pandemi covid. Bagaimana peran Gereja Tentang peran gereja di sini, kita masih berpedoman pada pengalaman pada vaksin polio, Pada tanggal 12 April 1955, diumumkan tentang kemenangan vaksin atas polio, gereja bersama komponen masyarakat menyambut dengan penuh kegembiraan, orang Kristen segera menyembunyikan lonceng gereja sebagai tanda kemenangan vaksin atas polio. Ini sebuah sikap gereja dalam menumbuhkan kembali spiritualitas warga jemaat setelah dilanda oleh pandemi. Bagaimana peran gereja untuk memberi penguatan bagi warga jemaat diera pandemi covid. Gereja mesti meneguhkan iman warga jemaat untuk  meyakini bahwa ketaatan dalam menerapkan protocol kesehatan dan menerima vaksin sebagai jalan untuk mengalami kesembuhan. Tugas gereja untuk melakukan pendekatan pastoral bagi warga jemaat sangat tepat, karena pastoral merupakan metode Gereja dalam memelihara ketentraman jiwa jemaat. Selama masa pandemi jemaat diperhadapkan dengan dampak buruk dari covid, misalnya tingginya angka pasien yang terpapar dan pasien meninggal, lalu dampak negative diberbagai sector kehidupan, new normal dan sebagainya. Masalah-masalah ini yang sangat membutuhkan pendampingan, bimbingan sehingga warga jemaat memiliki ketenangan dan kedamaian untuk menjalani hidup sambil menunjukkan ketaatan dan kesediaan menerima vaksin demi keselamatan tubuh dan jiwanya.  Dengan demikian kita percaya bersama Tuhan  yang telah menurunkan kuasa kesembuhan melalui vaksin akan dapat menyembuhkan manusia sehingga badai covid 19 akan berlalu.
http://radiosuaraharapan.com/
BAHAN RUJUKAN Yewanggoe A.A. 2018 Allah Mengijingkan Manusia untuk mengalamiNya Penerbit: BPK Gunung Mulia Hill Andrew E. & Walton John H.  2004. Survei Perjanjian Lama, Penerbit Gandum Mas. Calvin Yohannes  2015 Institutio (Pendidikan Agama Kristen), Penerbit BPK Gunung Mulia. Tim Stafford 2010. Surprised By Jesus (Siapakah Gerangan Orang Ini?) Penerbit BPK Gunung Mulia.]]>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *