Ke Manakah Akhir Hidupmu?

http://www.radiosuaraharapan.com/

“Mengenal dan menikmati Allah dalam hubungan vertikal, sekaligus juga mengenal diri dan menjadi berkat bagi sesama dalam hubungan yang horizontal, berbasiskan pada anugerah dan wahyu Allah. Saudara seiman tidak semata menjadi teman dalam suka dan duka saja, tetapi menjadi rekan seperjuangan yang menajamkan kita dalam proses menuju kepada kesempurnaan. Iman terhadap Allah meyakinkan kita akan proses hidup yang indah dan penuh makna, meskipun ada harga yang harus dibayar”

Suara Harapan – Alkisah, ada seorang pahlawan yang bertualang bersama tiga orang temannya. Setelah mengatasi berbagai jenis halangan, mereka pun sampai kepada musuh terakhir. Dengan susah payah sang pahlawan berhasil mengalahkan musuhnya, namun sayang, kemenangan itu harus dibayar dengan pengorbanan ketiga temannya. Hatinya hancur. Dewa yang melihat itu merasa iba, lalu mengirim pahlawan itu kembali kepada titik waktu ia memulai petualangan bersama teman-temannya, dan cerita pun berakhir di sana. Bagi sang pahlawan, sukacitanya adalah perjalanan bersama teman-temannya. Meskipun ia tahu bahwa di ujung sana ia akan kehilangan mereka, namun saat ini semuanya baik-baik saja, karena mereka ada lagi. Bukankah kisah seperti ini memberikan ending yang nihil?

Banyak dari kita yang menjalani kehidupan seperti ini. Kita sering kali terjebak dengan kesenangan atau kenikmatan yang ada di dalam hidup ini. Adalah hal yang sangat sulit jikalau kita harus meninggalkan kesenangan ini. Kalau bisa, kenikmatan itu terus ada di dalam hidup ini. Namun, realitas waktu yang terus berjalan menuntut kita untuk bergerak menjalani kisah hidup ini, hingga titik akhir di mana kematian akan menjemput kita. Ini adalah fakta yang pasti terjadi, namun hampir tidak ada seorang pun yang menyenanginya, karena kematian dianggap sebagai sebuah ending dari kenikmatan yang dialami, seperti kisah si pahlawan tadi. Ketika ia harus menyelesaikan misi dengan harga yang harus ia bayar, yang ia harapkan adalah mengulangi hidupnya, karena ia ingin kenikmatan atau kesenangan yang pernah ia alami itu didapatinya kembali. Di dalam konteks si pahlawan tersebut, relasi dengan sesamanyalah yang menjadi kenikmatannya.

Pertemanan, kekayaan, kedudukan, passion dari diri kita, bahkan rutinitas hidup bisa menjadi sukacita yang menjebak kita dari tujuan hidup yang sesungguhnya. Manusia yang terjebak dengan semua itu akan menjalani hidup dengan melihat kenikmatan saat ini tanpa mempertimbangkan baik-baik apa yang ada di depan. Ironisnya, banyak orang Kristen yang masih terjebak dengan pola pikir demikian. Segala yang ia kerjakan di dalam hidup, bisa dikatakan hampir tidak ada relasinya dengan imannya kepada Kristus. Kisah hidup yang ia jalani tidak memiliki aspek pergumulan dalam memaknai hidup sebagai murid Kristus. Sukacita dan ending hidup yang ia harapkan tidak ada hubungannya dengan kehidupan seorang yang sudah ditebus dan bertobat.

Maka pertanyaannya adalah, di manakah sukacita kita? Di manakah ending kita? Salib Kristus adalah simbol dan sekaligus analogi yang sempurna untuk menggambarkan tujuan utama manusia dalam dunia ini. Mengenal dan menikmati Allah dalam hubungan vertikal, sekaligus juga mengenal diri dan menjadi berkat bagi sesama dalam hubungan yang horizontal, berbasiskan pada anugerah dan wahyu Allah. Saudara seiman tidak semata menjadi teman dalam suka dan duka saja, tetapi menjadi rekan seperjuangan yang menajamkan kita dalam proses menuju kepada kesempurnaan. Iman terhadap Allah meyakinkan kita akan proses hidup yang indah dan penuh makna, meskipun ada harga yang harus dibayar (penyangkalan diri, pikul salib, dan ikut Kristus). Namun, semua itu akan dijalani karena kita tahu bahwa tujuan hidup kita adalah untuk memuliakan Dia dan menikmati-Nya selamanya. Apakah kita sudah tahu di mana kita akan berakhir?* Pillar ]]>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *