MESIAS DI JALAN KEKERASAN

Inspirational162 Views

Salib adalah pendamaian antara Allah dan manusia dan antarmanusia, sehingga kekerasan tidak menjadi solusi ketika ada konflik. Dan justru penderitaan Yesus di kayu salib adalah bela rasa (solidaritas) dengan manusia yang mengalami penderitaan, dan karena itu menjadi panggilan orang beriman untuk turut meringankan penderitaan sesama. Dalam pemahaman itulah gereja mendukung Gerakan anti kekerasan dalam rumah tangga, anti kekerasan terhadap perempuan, anti kekerasan seksual, anti kekerasan terhadap lingkungan.

Zakaria J. Ngelow

Suara Harapan – Pada hari Minggu lalu, Hari Minggu Palmarum, Yesus Kristus diarak rakyat masuk kota Yerusalem dengan menunggang keledai muda, simbol perdamaian. Pada hari Kamis malam, setelah merayakan Perjamuan Paskah, Yesus dan para murid-Nya pergi berdoa di Taman Getsemani, di luar kota Yerusalem. Pada malam itu Yudas Iskariot sebagai penunjuk jalan bagi “serombongan orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua bangsa Yahudi”, menangkap Yesus (Mat 26:47; Mrk 14:43). Ada perlawanan Petrus, yang menetak putus telinga kanan hamba Imam Besar, tetapi Yesus menyembuhkannya dan menyuruh Petrus menyarungkan pedangnya.

Mereka membelenggu Yesus dan membawa Dia untuk diadili Mahkamah Agama Yahudi dan pejabat pemerintah: mula-mula Hanas, mertua Imam Besar, lalu Kayafas, Imam Besar, lalu Pontius Pilatus (wali negeri Yudea). Pilatus mengirimnya kepada Herodes Antipas (Raja Gailea dan Perea), lali dikembalikan kepada Pilatus. Pengadilan dihadiri massa rakyat yang berseru-seru “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”. Ada juga murid-murid Yesus, dan Petrus tiga kali menyangkal mengenal Yesus.

Sambil cuci tangan menolak bertanggungjawab, Pilatus menyerahkan Yesus untuk dihukum mati di kayu salib. Dan setelah dicambuk, menjelang tengah hari, pada hari Jumat itu, Yesus dipakaikan mahkota duri dan diarak memikul salib-Nya ke bukit tengkorak, Golgota, di luar kota Yerusalem. Seorang bernama Simon dari Kirene dipaksa memikul salib Yesus. Rute perjalanan Yesus ke Golgota ini di kota Yerusalem disebut Via Dolorosa (Jalan Sengsara). Yesus ditelanjangi lalu disalibkan bersama dua orang penyamun, masing-masing di sebelah kiri dan sebelah kanan-Nya. Dari penampakan fisik Yesus setelah kebangkitan-Nya diketahui Yesus dipaku di kayu salib di kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki-Nya. Dalam Injil dilaporkan bahwa Yesus sempat diberi minum anggur asam. Dan setelah Yesus mati lambung-Nya ditikam dengan tombak oleh seorang prajurit sehingga keluar air dan darah. Menjelang malam, atas permintaan Yusuf dari Arimatea, seorang pemuka Yahudi pengikut Yesus, Pilatus mengizinkan mayat Yesus diturunkan dari kayu salib untuk dimakamkan. Yesus dimakamkan di kuburan yang masih baru miliknya, dalam bukit batu. Kuburan itu ditutup dengan batu, dimeterai dan dijaga oleh tentara Romawi.

Kekerasan dan Pendamaian

Sejak ditangkap sampai mati disalibkan, Yesus Kristus mengalami kekerasan. Kekerasan dan kematian yang dialami Mesias itu dipahami sebagai jalan penebusan dosa manusia. Ini suatu paham yang cukup lazim dalam Alkitab, dan menjadi pandangan teologi Kristen yang dominan (1 Korintus 15:3; Roma 5: 8; 1 Petrus 2:26; 1 Yohanes 2: 2). Sengsara dan kematian Yesus Mesias adalah untuk pengampunan dosa. Pandangan ini mengikuti ritual umat Allah dalam Perjanjian Lama: hewan ternak seperti domba atau lembu jantan dikorbankan untuk penebusan dosa. Entah apakah ini juga mengikuti teori kambing hitam René Girard, yang dalam psikologi berupa kecenderungan untuk mencari pelaku yang harus disalahkan atas suatu kesalahan.

Nabi Yesaya (53:5) menubuatkan penderitaan Mesias: “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”.

Dalam gereja peristiwa kekerasan salib itu dirayakan dalam ibadah melalui Perjamuan Kudus. Orang beriman duduk bersama menerima roti dan anggur, yang dijadikan simbol sengsara dan kematian Yesus Kristus untuk pengampunan dosa: tubuh-Nya dipecahkan dan darah-Nya ditumpahkan. Di berbagai tempat ada komunitas Kristen yang menampilkan peristiwa penyaliban Yesus Kristus dalam dramaturgi dengan kekerasan sungguhan (dicambuk dan bahkan dipaku di kayu salib).

Dalam sejarah gereja, kekerasan penyaliban diterima sebagai peristiwa suci. Kesenian Kristen di Barat, sejak gereja diakui kekaisaran Romawi (abad ke-4), mengembangkan kesenian suci kekerasan penyaliban Yesus Kristus. Tak terhitung jumlah karya lukisan, pahatan, liturgi, novel, syair, film mengenai tema kekerasan salib Kristus ini. Banyak orang yang kagum dengan film Passion of Christ (2004) dengan adegan-adegan kekerasan yang vulgar. Sekalipun mungkin menggugah iman terkait penderitaan Yesus Kristus demi menebus dosa manusia, adegan-adegan itu menanamkan penerimaan kekerasan dalam ingatan psikologis para penonton. Dan bersama itu juga hidup budaya kekerasan Kristen, baik sejarah panjang anti-semitisme maupun budaya kekerasan oleh Gereja dan masyarakat Kristen di era kolonialisme.

Penting mencatat bahwa ada suatu tradisi Kristen anti kekerasan, yang dikembangkan justru di kalangan minoritas Kristen yang tertindas –kaum Anabaptis dari masa Reformasi Gereja di Eropa abad ke-16. Mereka kemudian, antara lain dalam Gereja Mennonit, menerima realitas penindasan dan kemartiran sebagai kemuliaan hidup Kristiani, dan menjunjung anti kekerasan sebagai nilai dasar Kekristenan.

Dari penyaliban Yesus Kristus perlu dikembangkan teologi (dan etika) anti kekerasan. Yesus melarang membalas kekerasan, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5:39). Rasul Paulus menulis dalam Surat kepada Jemaat di Roma (12:8), “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”

Salib adalah pendamaian antara Allah dan manusia dan antarmanusia, sehingga kekerasan tidak menjadi solusi ketika ada konflik. Dan justru penderitaan Yesus di kayu salib adalah bela rasa (solidaritas) dengan manusia yang mengalami penderitaan, dan karena itu menjadi panggilan orang beriman untuk turut meringankan penderitaan sesama. Dalam pemahaman itulah gereja mendukung Gerakan anti kekerasan dalam rumah tangga, anti kekerasan terhadap perempuan, anti kekerasan seksual, anti kekerasan terhadap lingkungan.

Selamat merayakan Trihari Suci Kristiani 2022

[Zakaria J. Ngelow 15.04.2022]

Foto: Stasiun III Via Dolorosa (Yerulasem) di kapel Gereja Katolik Armenia. Yesus jatuh untuk pertama kalinya karena beban salib. Patung dan relief oleh seorang tentara Polandia pada PD II. [https://www.steinbergtourguide.com/post/via-dolorosa-virtual-tour] ]]>