Babau, Suara Harapan – Cuaca siang itu, Selasa 23 Januari 2024, sangat terik. Beberapa petani Babau, Kecamatan Kupang Timur, sibuk menanam padi di sawah yang tampak berlumpur.
Dengan sebilah kayu, Stef Terik (62) mencoba mengangkat keong-keong yang terlihat di petaknya. “Kalau sonde angkat, kita tanam hari ini percuma. Besok su sonde ada lagi,” kata Stef dengan bahasa Melayu Kupang.
Parit di sisi sawah yang seharusnya menjadi tempat aliran air hanya menampakkan tanda-tanda aliran air yang mungkin mengalir sebentar saja di malam sebelumnya.
“Tahun ini hujan kurang sekali,” ucap David Joni Manafe, seorang petani lain yang sawahnya berdampingan dengan lahan milik Stef Terik.
Karena itu, sebagian petani memilih tidak/belum mengolah lahan mereka. Hanya sekitar 17 hektar, dari sekitar 300 hektar di wilayah Dalam Kom itu yang tampak sudah dikerjakan oleh masyarakat sambil berharap curah hujan bisa lebih meningkat dalam beberapa waktu ke depan.

Stef, David, dan beberapa petani yang sedang mengerjakan sawah itu pun hanya bergantung pada aliran air dari bendungan Naibonat.
“Malam ini beta dengan beta pu anak harus mete untuk jaga air,” ucap Lorens Aden Lubalu (56), seorang petani lain.
Lorens mengaku harus menjaga aliran air dari bendungan itu agar tidak ada yang membelokkan ke lahan mereka. “Kalo sonde air sonde sampe di sini. Nah katong mau tanam karmana.”
Stef, David, dan Lorens tampak kecewa karena di tengah situasi yang tak menentu itu, belum ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Kupang. “Kami ditinggalkan. PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) juga tidak pernah muncul,” ucap David kesal.
Situasi mereka semakin diperparah dengan keberadaan pupuk subsidi yang tak kunjung diterima. Padahal beberapa petak lahan mereka sudah ditanami lebih dari seminggu sebelumnya.
“Idealnya satu minggu setelah tanam itu beri pupuk. Tapi ini pupuk subsidi belum turun-turun juga. Padahal kami sudah isi data di RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok),” terang David.

Ayah enam orang anak ini mengaku tak bisa membeli pupuk non subsidi yang harganya jauh di atas harga pupuk subsidi. “Kalau pupuk subsidi per karung 50 kg itu harganya Rp 112.500. Sementara pupuk di pasaran itu Rp 525.000,” ujar David.
Sedangkan untuk sekitar satu hektar lahan dia membutuhkan paling sedikit empat karung pupuk agar padi-padinya bisa tumbuh subur dan menghasilkan panenan yang baik.
Tidak hanya itu, mereka juga harus waspada terhadap serangan hama yang bisa datang kapan saja merusak tanaman mereka. “Kami harus siap dengan obat-obatan untuk mengusir hama, tapi itu juga harganya mahal sekali,” kata Lorens.
Karena itu, mereka sangat mengharapkan perhatian dan dukungan dari pemerintah Kabupaten Kupang. “Kami para petani berharap pemerintah segera turun ke lapangan. Kami tidak butuh apa-apa tapi minimal ada solusi. Contohnya dibuat sumur bor untuk kita sehingga di saat musim hujan yang kurang ini kita bisa dibantu oleh sumur bor,” kata David. (YL/ENS)
