PIKUL MELIBATKAN SWASTA DALAM ISU PENGURANGAN RISIKO BENCANA, PERUBAHAN IKLIM, DAN CUACA EKSTRIM

Pelayanan37 Views

Berdasarkan Data yang diperoleh Suara Harapan, Tahun 2024 Indonesia berpotensi kehilangan Rp544,93 triliun pada empat sektor prioritas adaptasi perubahan iklim berdasarkan laporan dari Bappenas jika pemerintah tidak mengubah mekanisme

Kupang, Majalah Suara Harapan – Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL) menggelar Workhsop peningkatan pelibatan sektor swasta pada isu pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim dan cuaca ekstrim.

Melalui proyek Komunitas Tangguh Iklim dan Bencana di Indonesia lewat penguatan petani perempuan (ICDRC-YFF) kerja sama dengan OXFAM dan atas dukungan dari Australian AID/DFAT- Kemensos RI,

Kegiatan ini berlangsung di Hotel Neo Aston pada Kamis,20 Januari 2022 dengan melibatkan peserta dari LSM/OMS, Organisasi Penyandang Disabilitas, Pemerintah, Sektoral Swasta, BUMN, Non BUMN, UKM, dan UMKM. 

Berdasarkan Data yang diperoleh Suara Harapan, Tahun 2024 Indonesia berpotensi kehilangan Rp544,93 triliun pada empat sektor prioritas adaptasi perubahan iklim berdasarkan laporan dari Bappenas jika pemerintah tidak mengubah mekanisme pengarusutamaan adaptasi pada program/kegiatan pemerintah.

Hingga saat ini, pelibatan sektor swasta
dalam proyek adaptasi iklim masih dianggap terbatas, sebuah studi yang dilakukan oleh Grantham Research Institute on Climate Changen and the Environment tahun 2016 menyimpulkan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh ketidakhadirannya insentif, kerangka kebijakan yang mumpuni, dan minimnya kapasitas untuk menanggulangi tantangan perubahan iklim.

Penanggulangan bencana merupakan urusan bersama. Lembaga usaha yang merupakan salah satu unsur dalam pentahelix, mempunyai peran penting dalam penanggulangan bencana salah satunya dengan terus mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki.

Lembaga usaha didorong bukan hanya untuk berkontribusi melalui bantuan yang bersifat charity, tetapi juga membangun nilai kebencanaan dalam sistem organisasi.

Sektor swasta memiliki sumber daya memadai dalam penanganan bencana, namun selama ini upaya-upaya terkait penanggulangan bencana yang dilakukan oleh sektor swasta tersebar dan koordinasinya satu sama
lain kurang optimal.

Keterlibatan Lembaga usaha diatur dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 12 Tahun
2014 tentang Peran Serta Lembaga Usaha dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Kepentingan dan peran serta dunia usaha tidak harus terpusat pada saat tanggap darurat saja.

Bisa dilakukan juga pada saat pra bencana yaitu masa ketika adanya potensi bencana yang meliputi mitigasi structural dan mitigasi nano structural, dan saat pasca bencana yaitu penanganan pada lokasi yang telah
terdampak bencana, meluputi rehabilitasi serta rekonstruksi dan lainnya.

Perlu mengubah paradigma dalam penanggulangan bencana yang dilakukan bersama sektor swasta. Sektor swasta perlu didorong untuk tidak hanya berkontribusi melalui bantuan yang bersifat charity saja
namun juga membangun nilai soal kebencanaan dalam sistem organisasi.

Lokakarya ini dilakukan karena
melihat keterlibatan sektor swasta di isu Penanggulangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Tenggara Timur masih minim dan lebih banyak pada respon saat bencana saja. Padahal, sangat penting sektor swasta sebagai bagian dari pentahelix untuk terlibat dalam aktivitas strategis di isu
Penanggulangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.

Lokakarya ini diharapkan bisa menghasilkan hasil yang menunjukkan alasan atau sebab mengapa keterlibatan sektor swasta masih minim dan solusi pelibatan sektor swasta dalam aktivitas Penanggulangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Pantoro Torri Kuswardono menyatakan, Kegiatan ini merupakan sesuatu yang baru, butuh keterlibatan semua elemen termasuk di dalamnya pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam workhshop dapat memahami kesadaran tentang risiko dampak perubahan iklim.

Dalam pembukaan acara workshop, Heyn Peter Ahab, S. St., MA Perwakilan BPBD Provinsi NTT mengarahkan agar  menghasilkan platform atau program rencana kerja dan kebijakan sehinga benar-benar tangguh berdasarkan motto BNPB.

Akademisi Norman P. L. B Riwu Kaho memaparkan terkait pentingnya para sektor swasta tentang lansekap dan beradaptasi isu pengurangan risiko bencana, perubahan iklim,  dan kemungkinan cuaca ekstrim di Nusa Tenggara Timur (Timor) dan apa saja langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong keterlibatan sektor swasta, dalam mendukung pencapaian target. 

Ketua FPRB NTT Buce Ga memaparkan keterkaitan kolaborasi dari semua pihak untuk harus bersinergi baik itu lintas sektor media, masyarakat, pemerintah, akademisi, dan dunia usaha.  Peran Dunia usaha ada pada amanat UU 24 tahun 2007 dalam Pasal 28 Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara
tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. 

Ia menambahkan dalam pasal 29 (1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana. (2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta menginformasikannya kepada publik secara transparan. (3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya dalam penanggulangan bencana

Sedangkan Odik Adrianus Mesakh selaku perwakilan pelaku usaha berbagi pengalaman, ketika badai siklon tropis Seroja di tahun kemarin, adanya keterlambatan bahkan sebagian besar tidak ada peduli dari pemerintah untuk menghidupkan kembali pelaku usaha.

Ia menambahkan sekiranya kedepan ada kolaborasi, saat ini belum sepenuh menjangkau masyarakat yang di dalamnya ada pelaku usaha sektor swasta.

Salah satu contoh, dipaksa membayar retribusi padahal usaha yang ia tekuni belum beroperasi setelah badai siklon tropis Seroja, tutup Messakh. ]]>