Yesus Pemimpin Berkharisma: Membawa Damai Dengan Cara Damai

Bahan Khotbah Minggu Sengsara V: 27 Maret 2022
Bacaan Alkitab: Lukas 19:28-44

Tema : Yesus Pemimpin Berkharisma: Membawa Damai Dengan Cara
Damai


Majalah Suara Harapan -Sejak zaman kuno, kota adalah simbol peradaban. Ia membentuk semangat
dan budaya manusia untuk kebaikan atau keburukan; damai atau konflik; sehat atau
sakit. Akhir-akhir ini kita mendengar apa yang disebut smart city (kota pintar). Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Kota Kupang giat membangun berbagai
infrastruktur untuk menjadi kota pintar. Rencana pemerintah pusat untuk
memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia ke Kalimantan juga merupakan
bagian dari transformasi peradaban itu. Smart city merupakan upaya inovatif
ekosistem kota dalam mengatasi berbagai persoalan dan meningkatkan kualitas hidup manusia.


Yerusalem adalah ibu kota Israel. Kota ini disebut lebih dari 800 kali di dalam
Alkitab dari kitab Kejadian sampai Wahyu. Kata Yerusalem diduga berasal dari kata
Ibrani syalom yang berarti damai. Para nabi bernubuat bahwa bangsa-bangsa akan
berduyun-duyun ke Yerusalem/Zion untuk menyembah Allah, karena Bait Allah
berdiri di kota ini. Inilah kota Allah (Mazmur 48), kota dimana umat menimba
spiritualitas.

Pada masa Yesus, Israel/Yerusalem merupakan wilayah jajahan kerajaan
Romawi. Kitab-kitab Injil, tidak menyebut pasti berapa kali Yesus datang ke
Yerusalem. Bisa jadi berkali-kali, namun secara gamblang, paling kurang tersedia 3
cerita yang mengisahkan kehadiran Tuhan Yesus di kota kudus ini, yakni ketika Ia
disunat pada usia 8 hari (Lukas 2:21), ketika mengikuti perayaan Paskah pada usia 12 tahun (Lukas 2:41) dan pada perayaan Paskah menjelang kematian-Nya (Lukas 19:28
dst-nya).

Keledai dan Pesan Damai
Ada dua peristiwa dalam Lukas 19:28-44 yang menjadi renungan Minggu
Sengsara ini. Pertama, ayat 29-40 tentang Tuhan Yesus mengendarai keledai
memasuki kota Yerusalem dan menarik simpati para peziarah yang hendak
merayakan Paskah. Kedua, ayat 41-44 tentang Tuhan Yesus menangisi kota
Yerusalem. Dua peristiwa ini kontras; ada sukacita dan dukacita sekaligus.
Euforia sukacita diwakili oleh massa peziarah. Mereka mengelu-elukan Yesus
karena didorong oleh harapan datangnya Mesias politik yang akan membebaskan
mereka dari belenggu penjajahan. Massa rupanya melihat sosok Mesias itu dalam diri Yesus. Dan, pada saat yang sama, Yesus sendiri menyadari diri-Nya sebagai Mesias namun tidak dalam pengertian politis seperti yang diinginkan oleh massa.
Misi kemesiasan Yesus adalah mencari, menyembuhkan, menyelamatkan,
meneguhkan, menghibur, mengajar, menegur, memberi makan, membangkitkan, mengasihi, mengampuni, dan sebagainya. Misi itu telah dikerjakan dan melahirkan
transformasi secara lahir dan batin bagi sebagian besar umat yang mengalami dan
percaya pada pengajaran Yesus. Tetapi di lain pihak menimbulkan rasa benci di mata
separuh pemimpin agama (Farisi, Zaduki, Ahli-ahli Taurat). Bagi kaum elit ini, Yesus
adalah tokoh yang berbahaya. Paling kurang, dalam beberapa kejadian terkait
penerapan aturan-aturan agama misalnya, peristiwa perempuan yang kedapatan
berzina, para pemimpin itu kehilangan muka karena dibungkam oleh Yesus.
Maka timbullah konflik dan upaya untuk membunuh Yesus. Yesus sendiri
tahu bahaya itu sejak memulai pelayanan-Nya di kota Nazareth. Oleh sebab itu Ia
menyusun strategi sedemikian rupa agar diri-Nya tidak dibunuh secara diam-diam.
Kalau pun Ia mati di tangan para musuh, Ia ingin kematianNya disaksikan oleh
banyak orang.
Strategi itu terlihat jelas ketika Ia memilih memasuki kota Yerusalem secara
dramatis dengan mengendarai seekor keledai muda sebagaimana nubuatan nabi
Zakaria (9:9). Ia memberi pesan kepada khalayak yang akan merayakan Pesta Paskah, entah kawan maupun lawan, bahwa Ia datang untuk membawa damai. Bukan perang, Bukan kekerasan.

Tidak ada kesan untuk
bersembunyi atau melarikan diri dari ancaman pembunuhan. Ia menghadapi
kematian-Nya secara heroik.
Yesus Menangis Pada kondisi sedih, menangis dipicu oleh penderitaan yang berat atau hati dan
jiwa yang hancur karena berbagai sebab. Hanya ada dua catatan tentang Yesus
menangis, yaitu pada peristiwa kematian Lazarus dan saat memandang kota
Yerusalem sebelum kematian-Nya. Menangisi orang yang meninggal dunia adalah
respon yang wajar. Sedangkan menangisi sebuah kota, yang tampak baik-baik saja
(kecuali porak-poranda karena bencana) merupakan sikap yang tidak lazim sehingga
timbul pertanyaan, seberapa pentingkah Yerusalem sampai Yesus bercucuran airmata
memandang kota itu?
Aplikasi
Kita bersyukur bahwa secara nasional NTT merupakan salah satu kota paling
toleran. Tentu agama Kristen berkontribusi bagi suasana kerukunan itu. Namun

jangan lupa bahwa persoalan kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan, perdagangan
orang, stunting, HIV/AIDS, kekerasan dan kriminalitas, juga merupakan masalah
serius di provinsi ini.
Terhadap kondisi buruk itu, gereja mesti meratapi dan memasukinya. Dengan
airmata, mata kita dibersihkan untuk melihat secara lebih jelas rahmat yang
disediakan Allah. Tetapi jangan berhenti di situ. Bangkit dan ambilah tanggung jawab
dalam pembangunan masyarakat. Jangan melarikan diri. Desa-desa dan kota-kota di
NTT saat ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen tulus
untuk membangun peradaban yang damai seperti yang dilakukan Tuhan Yesus. *Sinode GMIT ]]>