Intoleransi & Hubungan Antaragama di Indonesia: “Speechless!”
Albertus M. Patty
Majalah Suara Harapan – Dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi lagi dan lagi kasus intoleransi atas nama agama di Indonesia. Praktek intoleransi ini kebanyakan terjadi di daerah Jawa Barat. Pernah terjadi di sebuah kota di Jawa Barat, sekelompok warga menghadang jemaat yang hendak beribadah. Teriakan ancaman serta makian bercampur dorongan dan praktek kekerasan berlangsung secara anarkis dan brutal. Bukannya menenangkan, aparat justru ikut mengompori. Sementara itu, anak-anak kecil memegang tangan orang tua mereka dengan wajah bingung. Di tengah kerumunan itu, seorang ibu muda memeluk anaknya erat, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, tetapi tidak keluar satu kata pun. Ia hanya diam.
Diamnya itu bukan karena ia tidak punya pembelaan. Ia diam karena kata-kata tak akan mampu menahan gelombang massa, dan mungkin tak akan dimengerti. Itulah momen speechless yaitu momen ketika bahasa lumpuh di hadapan kenyataan yang terlalu besar dan terlalu pahit.
Kesadaran Eksistensial
Søren Kierkegaard, filsuf dan teolog Denmark abad ke-19, dalam Christian Discourses (1848) menyebut keadaan seperti ini sebagai fear and trembling, rasa takut dan gentar yang membuat kita terdiam. Namun, bagi Kierkegaard, speechless bukan sekadar bisu atau pasrah, tetapi kesadaran eksistensial: bahwa di hadapan realitas yang mengguncang, kita menyadari keterbatasan dan kerapuhan kita, dan dalam diam itu, nurani justru bisa bekerja.
Hilangnya Momen Speechless
Sayangnya, di ruang publik Indonesia, momen speechless seperti itu jarang terjadi terutama di tingkat elite, para pengambil keputusan politik dan agama. Saat kasus intoleransi atau kekerasan antaragama terjadi, yang muncul justru arus kata-kata yang deras: pembelaan diri dari aparat, justifikasi dari tokoh politik, framing media yang menyamarkan fakta. Banjir deras kata-kata sering lahir bukan dari keheningan batin, melainkan dari kalkulasi kepentingan dan dari riuhnya kebencian, meski tanpa alasan rasional.
Kierkegaard mungkin akan berkata: kita kehilangan fear and trembling di hadapan martabat manusia. Kita tidak lagi membiarkan diri terhenti sejenak untuk menyadari bahwa di balik “mereka” dan “kita” ada kemiripan yang tak terhapuskan: sama-sama rapuh, sama-sama ingin hidup dengan damai, dan terutama sama-sama sebangsa dan setanah air.
Speechless sebagai Tindakan Moral
Dalam hubungan antaragama, speechless ala Kierkegaard adalah sikap moral. Diam bukan berarti membiarkan ketidakadilan, tetapi memberi ruang pada empati sebelum kata-kata itu keluar dari mulut kita. Diam yang aktif. Diam yang mengakui bahwa saya tidak memegang seluruh kebenaran.
Bayangkan jika dalam setiap insiden intoleransi, para pemimpin politik dan agama mau menahan diri dari komentar tergesa-gesa, mau duduk sejenak, lalu dalam empati dan sikap compassion mendengarkan langsung cerita korban tanpa kamera dan mikrofon. Diam itu bisa mengubah nada kata-kata yang nantinya keluar: dari pembelaan kelompok menjadi ajakan tulus untuk bersama-sama memperbaiki keadaan demi kebaikan dan keadilan bersama.
Politik, Agama, dan Kebisingan
Di Indonesia, politik sering menjadikan agama sebagai bahan bakar. Tokoh agama kadang terjebak dalam retorika defensif demi menjaga pengaruh. Dalam suasana ini, speechless menjadi sulit, karena setiap orang merasa harus segera punya sikap. Bukan sikao yang “menenangkan” suasana, tetapi “memenangkan” kelompoknya di ranah opini publik.
Kierkegaard mengingatkan, diam di hadapan Allah berarti mengakui keterbatasan diri. Diam di hadapan sesama berarti mengakui bahwa kita bisa salah menilai, bisa keliru memahami. Tanpa kesadaran ini, kata-kata hanya akan menjadi alat untuk mempertajam sekat, memperlebar perbedaan, dan makin memanaskan konflik yang ada.
Belajar dari Keheningan
Mungkin kita perlu belajar dari ibu muda yang diam di tengah kerumunan itu. Keheningannya bukan menyerah, melainkan menolak untuk terjebak dalam kebisingan yang tidak membangun. Ia speechless karena memilih mengamankan anaknya daripada memenangkan perdebatan.
Jika kita mau mengambil jeda seperti itu dalam menanggapi isu antaragama, kita bisa:
Menghindari reaksi impulsif yang memicu emosi massa.
Memberi ruang bagi suara korban terdengar apa adanya.
Memupuk rasa rendah hati untuk mencari jalan damai, bukan kemenangan sepihak.
Diam yang Bermakna
Indonesia tidak kekurangan kata-kata tentang toleransi. Yang kurang adalah keheningan yang mempersiapkan kata-kata itu agar lahir dari hati yang jernih dan penuh cinta, serta dari pikiran yang cerdas dan rasional. Kierkegaard mengajarkan bahwa speechless adalah pengakuan: saya terbatas, saya tidak sepenuhnya mengerti, dan justru karena itu saya harus berhati-hati berbicara.
Dalam hubungan antaragama yang sering dipolitisasi, speechless bisa menjadi jalan menuju kata-kata yang memulihkan. Sebab hanya dari diam yang tulus dan dijiwai kerendahan hati, lahir ucapan yang menguatkan dan membangun damai.