
RP Stepanus Sigit Pranoto, SCJ(Dosen Prodi Psikologi, Universitas Katolik Musi Charitas)
Majalah Suara Harapan – Menanggapi gelombang unjuk rasa masyarakat yang kian memanas, setidaknya 3 partai politik sudah mengambil langkah tegas: menonaktifkan kader yang dinilai turut memperkeruh suasana.Ketiga parpol itu adalah NasDem, PAN, dan Golkar. Sementara itu kader yang dinon-aktifkan adalah Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya) dan Adies Kadir.
Muasalnya adalah sikap dan pernyataan mereka dinilai telah melukai hati masyarakat. Publik yang tengah resah dan marah karena kebijakan pemberian gaji dan tunjangan fantastis bagi anggota DPR justru disuguhi dengan sikap dan ungkapan tidak simpatik sejumlah wakil rakyat yang mestinya mampu mengakomodasi aspirasi rakyat.
Alih-alih menenangkan situasi, pernyataan mereka malah memperkeruh luka kolektif.Di sini kita menyaksikan permasalahan mendasar: anggota dewan mundur atau dinonaktifkan bukan karena kesadaran diri, melainkan karena tekanan politik dan tuntutan publik. Bukan voluntary resignation, melainkan forced exit. Dengan kata lain, yang hilang bukan sekedar kursi atau jabatan, melainkan rasa malu.
Antropolog Ruth Benedict dalam karyanya The Chrysanthemum and the Sword (1946) menyoroti peran sentral rasa malu (shame) dan kewajiban eksternal dalam membentuk moral dan perilaku masyarakat Jepang, khususnya melalui konsep giri dan on. Giri mengikat seseorang untuk menjaga nama baik dan reputasi.
Sementara on adalah tanggungjawab yang harus diemban, sehingga menerima on bisa menjadi beban yang menimbulkan rasa malu bila tidak mampu menjalankannya. Dari perspektif ini, seorang individu yang tidak mampu melaksanakan tanggungjawabnya akan merasa malu, dan mereka akan mundur sebelum dipaksa.
Dalam budaya malu, kendali moral datang dari mata publik: malu ketika diketahui, malu ketika dipermalukan. Ironisnya, di Indonesia yang katanya menjunjung tinggi budaya malu, pejabat publik tampak tidak gentar meski disorot terang-benderang oleh rakyat.
Jarang terdengar seorang anggota legislatif, atau pejabat publik lainnya, mundur karena merasa gagal, apalagi karena malu telah mengecewakan rakyat. Yang sering terjadi justru sebaliknya: bertahan sekuat tenaga hingga akhirnya dipaksa mundur oleh tekanan publik atau manuver partai.
Atau jangan-jangan mereka tidak sadar kalau mereka gagal mengemban tanggungjawabnya? Bukannya malu, justru mereka berusaha keras mencari pembelaan diri. Bahkan malah kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri.
Langkah tegas partai politik yang menonaktifkan kadernya pantas diapresiasi. Namun di titik ini, kita juga perlu bertanya: Apakah upaya ini benar-benar dilakukan untuk memulihkan integritas DPR atas dasar rasa malu atas perilaku para kadernya? Ataukah penonaktifan ini sebagai manuver politik untuk mengembalikan citra parpol pengusungnya?Tentu jawabannya perlu diuji pada kinerja mereka di hari-hari mendatang. Apabila budaya malu sudah mati, maka tindakan mundur atau dinonaktifkan tidak lagi lahir dari kesadaran moral.
Semua itu sekadar hasil kalkulasi untung-rugi.Bangsa ini membutuhkan pejabat yang tahu malu ketika melukai hati rakyat. Malu untuk berkilah, malu untuk mempertahankan kursi, malu untuk tetap berada di panggung ketika sudah kehilangan kepercayaan.
Sebab tanpa rasa malu, jabatan hanyalah panggung sandiwara, sementara rakyat tetap akan menanggung kecewa. Bahkan duka dan derita.Karena itu, pengembalian integritas politik di negeri ini tidak cukup dengan manuver partai yang menonaktifkan kadernya.Hal yang lebih mendesak adalah menghidupkan kembali budaya malu sebagai fondasi moral politik. Sebab, ketika rasa malu sudah mati, politik hanya akan menjadi ruang transaksional yang hampa dari tanggungjawab.
Budaya malu adalah pagar moral yang menjaga kehormatan publik. Tanpa itu, bangsa ini hanya akan dipimpin oleh mereka yang pandai mencari celah, tetapi miskin rasa hormat pada rakyat.Dan jika demikian, krisis kepercayaan yang kini meletup akan terus berulang, dengan luka yang kian dalam.