Minimnya curah hujan di NTT secara umum dan Kabupaten Kupang secara khusus telah berdampak buruk bagi sektor pertanian, terutama bagi petani sawah. Di Kabupaten Kupang, ribuan hektar sawah terancam gagal tanam akibat curah hujan yang hanya 50 milimeter per bulan, jauh di bawah rata-rata tahunan yang mencapai 250 milimeter.
Gagal tanam ini menyebabkan penurunan produksi pangan dan menurunkan pendapatan petani. Selain berdampak langsung pada pendapatan petani, gagal tanam juga dapat menyebabkan kenaikan harga pangan di pasaran. Hal ini tentu saja akan menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Gagal tanam ini tentu saja bukan kali pertama terjadi di NTT. Fenomena ini telah menjadi tantangan yang dihadapi petani setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan menjadi lebih tidak menentu.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan kolaboratif oleh pemerintah dan masyarakat.
Pertama, langkah antisipasi, yaitu penyiapan arah dan strategi, program dan kebijakan yang sesuai dengan kondisi iklim yang berubah. Antara lain, dengan melakukan pengembangan infrastruktur yang tangguh, seperti bendungan, irigasi, dan sumur bor, yang dapat menyediakan air bagi pertanian.
Selain itu, juga perlu melakukan evaluasi tata ruang yang berwawasan lingkungan, pengembangan sistem informasi dan peringatan dini yang akurat, penyusunan dan penerapan peraturan perundangan yang mendukung perlindungan lingkungan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki pemahaman dan keterampilan tentang perubahan iklim.
Kedua, langkah mitigasi, yaitu upaya memperlambat laju pemanasan global dan perubahan iklim dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan meningkatkan penyerapan GRK. Langkah ini bisa ditempuh dengan melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, seperti surya, angin, dan biomassa, yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak.
Selain itu, juga perlu melakukan pengelolaan hutan yang lestari, penggunaan pupuk organik dan biopestisida, serta partisipasi pribadi dan komunitas dalam penghematan dan daur ulang sumber daya.
Ketiga, langkah adaptasi, yaitu upaya penyesuaian diri dengan kondisi iklim yang berubah dengan mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Antara lain, dengan melakukan penyesuaian pola tanam yang lebih tahan terhadap kekeringan.
Selain itu, juga perlu menggunakan varietas unggul yang adaptif terhadap stres iklim, penganekaragaman pertanian, teknologi pengelolaan lahan, air, dan pupuk yang efisien, diversifikasi pangan, pengembangan sistem informasi, penyuluhan, kelompok kerja, dan asuransi pertanian.
Selain itu, peran aktif penyuluh pertanian sebagai ujung tombak pertanian di daerah untuk mengedukasi petani juga perlu ditingkatkan. Hal ini harus ditunjang dengan penyediaan bahan edukasi dan pendampingan, serta sarana produksi pertanian (Saprodi) pendukung yang memadai.
Harapannya pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama untuk mewujudkan solusi ini demi menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Semoga fenomena ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan kita. (Red)