Bacaan: 1 Raja-raja 19 : 1-18
Tema: Sahabat Bagi yang Berputus Asa
Pengantar
“Orang yang putus asa adalah orang yang sombong,” demikian perkataan Bunda Teresa. Sepintas perkataan biarawati yang menghabiskan masa hidupnya untuk melayani orang – orang yang berputus asa tidak diterima dan malah menjadi sebuah lelucon.
Namun, jika didalami, perkataan itu benar. Seseorang berputus asa menganggap tidak ada jalan keluar dari persoalannya. Ia menganggap hanya dirinya saja yang mampu menyelesaikan persoalan. Ketika dirinya sudah tidak mampu atau jalan keluar tak kunjung dilihatnya walaupun ia sudah berusaha, maka segala sesuatu dianggapnya telah hancur/berakhir.
Bukankah ini merupakan sebuah bentuk kesombongan? Menganggap diri sebagai tokoh kunci dalam penyelesaian masalahnya bukan saja menjadikan seseorang malu atau gengsi untuk meminta bantuan sesama, tetapi juga lupa bahwa ada Tuhan dan orang lain yang diutus-Nya untuk menolong.
Penjelasan teks
Nabi Elia baru saja meraih kemenangan melawan nabi-nabi Baal, namun sukacita keberhasilan itu sirna hanya karena Izebel mengucapkan sumpah untuk menghabisi nyawanya. Elia belum sempat merayakan kemenangan itu, tiba-tiba mendapat ancaman pembunuhan sehingga bukan wajah yang berseri-seri tapi perasaan ngeri, bukan ketenangan setelah tubuh lelah berhadapan dengan para nabi Baal tapi justru jiwa tergoncang ketakutan.
Di gunung Karmel, Elia begitu percaya diri walau seorang diri berhadapan dengan empat ratus lima puluh nabi Baal (1 Raj. 18:22 ). Namun, di Gunung Horeb, saat berhadapan dengan seorang Izebel justru nyali Elia menjadi ciut (1 Raj. 19:10).
Memang terdapat alasan mendasar yang membuat Elia begitu takut kepada Izebel. Izebel pada dirinya mungkin bukan siapa-siapa, tapi karena statusnya sebagai permaisuri maka di sekelilingnya ada kekuatan besar yang dapat digerakkan untuk menghancurkan Elia.
Izebel merupakan simbol kekuasaan yang terganggu karena gerakan reformasi iman yang dilakukan oleh nabi Elia. Kekuasaan tergoncang ketika para nabi Baal mengalami kekalahan.
Rupanya ada hubungan saling menguntungkan antara kekuasaan dan agama, sehingga Izebel berdiri paling depan membela penganut dewa Baal. Bisa jadi para nabi Baal diperalat untuk ambisi kekuasaan Izebel, di sisi lain nabi-nabi Baal menikmati manfaat dari adanya kedekatan dengan penguasa untuk kepentingan pribadi.
Seperti yang bisa kita lihat juga hari ini, “perselingkuhan” antara penguasa dan tokoh agama membuat kebenaran dibungkam dan pejuang kebenaran diancam.
Perhatikanlah bahwa saat kebenaran dibungkam dengan intimidasi dan kekerasan oleh para penguasa, nabi sekelas Elia yang terkenal karena keberaniannya pun sampai pada tingkat putus asa. Dalam ketakutan ia memilih jalan bersembunyi sebagai upaya untuk menyelamatkan diri.
Terkesan yang dilakukan Elia adalah tindakan bijak untuk mempertahankan nyawanya. Tetapi, sebenarnya itu adalah bentuk pelarian dari kondisi yang semestinya dia tanggung sebagai pewarta kebenaran. Tampak Elia terlalu mengandalkan dirinya sendiri sehingga ia lupa akan kekuasaan Tuhan Allah yang baru saja dialaminya saat ia seorang diri mengalahkan 450 orang nabi Baal.
Tuhan tahu suasana hati Elia yang tergoncang hebat itu. Tuhan menganggap jalan yang dipilih Elia tidak menolong dirinya dan juga umat yang dipimpinnya. Karena itu, Elia mesti dibawa kembali ke jalan Tuhan.
Maka, Tuhan mengutus malaikat untuk menjumpai Elia dan berkomunikasi seperti seorang sahabat. Elia tidak dicerca dengan pertanyaan yang menyudutkannya, tetapi ia diajak atau dibujuk untuk bangun dan makan. Begitulah cara Tuhan Allah berhadapan dengan nabi Elia yang sedang berputus asa.
Aplikasi
Setelah mendalami teks Alkitab ini, maka kita mencatat beberapa poin refleksi sekaligus aksi. Pertama, upaya apapun yang bertujuan untuk menghadirkan pembaharuan dalam masyarakat bahkan gereja pasti akan berhadapan dengan tantangan. Pihak yang terganggu dan terancam kenyamanannya akan berusaha dengan berbagai cara untuk menggagalkan hal baik yang diperjuangkan. Mereka bisa mengancam dan mengintimidasi.
Karena itu, para pejuang kebenaran dan kebaikan mesti siap menanggung risiko. Jangan melarikan diri dan berputus asa, lalu mencari jalan di luar kehendak Tuhan. Milikilah keyakinan bahwa Tuhan Allah pasti hadir dan menjadi sahabat yang menguatkan.
Kedua, setiap orang percaya perlu membangun kesadaran bahwa pengalaman hidup manusia selama ada di bumi pasti silih berganti. Ada sukses dan gagal, untung dan rugi, sehat dan sakit, menang dan kalah, disanjung dan dihina, dst.
Maka, kita harus percaya bahwa semua proses atau dinamika hidup itu berada di dalam kendali Tuhan Allah. Yang perlu kita lakukan adalah mempersiapkan diri di dalam Tuhan untuk menghadapi segala kemungkinan agar kita tidak berputus asa saat berhadapan dengan hal-hal yang tidak diharapkan itu.
Jangan jadi pengikut Tuhan yang putus di tengah jalan (bunuh diri) atau melarikan diri.Ketiga, putus asa dapat dialami oleh semua orang, entah pejabat ataupun rakyat, bahkan pendeta pun bisa mengalaminya.
Hadirlah sebagai sahabat yang menopang, paling tidak melalui doa. Jangan jadikan keputusasaan saudara/i kita sebagai bahan gosip dan olok-olokan. Sebaliknya, setiap kita harus menghadirkan diri sebagai “malaikat” atau utusan Allah untuk menjadi sahabat bagi mereka yang berputus asa. (Sinode GMIT)